Selasa, 24 Februari 2015

Surat Tentang Rindu



Kepada kamu yang menanti surat-suratku, yang akan dibaca dengan tawa dan haru.

Umpama kamera merindukan cahaya
Umpama laut merindukan birunya langit
Umpama siluet merindukan mentari senja
Umpama dedaunan merindukan desau angin
Seperti aku merindukan kamu

Kala pesawat melandai aspal
Kala kota ini menyambut kunjungmu
Kala aku dapat menggandeng lenganmu yang kokoh
Kala kita kalahkan waktu dan jarak yang selama ini mencekat
Saat kenang merindukan tokoh nya

Ah, entah itu bait puisi, sajak atau prosa, aku tidak mengerti. Kuguratkan saja semua dengan tinta kelabu ini. Dia juga penuh menyelimuti kota, membuat pinggiran ibukota yang gersang ini terasa agak dingin dan penuh kenangan akanmu.

Oh, hai bang, aku lupa menyapamu. Di surat kali ini, biar aku bingkiskan rindu. Rindu yang sudah tak betah menetap bersamaku, mereka menyesakkan, terkadang menjalar menjadi silu di buku jemari tangan kananku, terkadang menjelma wujud basah yang hangat di pipi. Rindu yang desaunya lebih hingar dari pada angin musim gugur. Rindu yang membangkitkan paksa kenangan dari kuburnya. Kenapa mereka tak mati saja! Malah huru-hara menghantui setiap sudut pikiranku.

Sayang, maaf, jika aku rewel, selalu merengek ingin kamu manja. Maaf, jika kamu diharuskan menjadi dewasa tiap kali meladeniku. Maaf, jika hari dan hatimu selalu dipenuhi oleh aku melulu. Maaf, jika aku pemarah dan terlalu protektif. Maaf, karenaku kesehatanmu belakangan semakin menurun. Maaf, selalu membuatmu terjaga sampai sepertiga malam untuk menemani sampai aku tertidur, padahal kamu sudah sangat mengantuk dan tak semangat bercerita. Terima kasih, telah menyayangiku sebegitunya.

Entahlah, mengapa aku lupa bahwa aku ini cuek dan tak peduli akan apa pun, coba ingatkan aku, supaya kamu dapat sedikit bernafas dan bergerak. Aku tidak ingin selalu menyusahkanmu, membuat pikiranmu bertambah runyam. Coba bantu aku menerbangkan permasalahan kecil di antara kita, supaya kamu dapat terlelap dengan lega malam ini.

Jika kamu haru membaca ini, mungkin perasaanku sedang sedih. Sedih yang membungkus bahagiaku, sedih yang sedang berteman dengan ketakutan akan jarak kita. Sedih yang akan menjadi pilu jika nantinya kamu mengganti atmosfir nyamanmu. Sedih yang tak ingin kau bersedih. Sedih yang ingin aku remukkan saja! Tak usah pikirkan aku yang bersedih karena merindumu ini, harus tetap tersenyum menjalani harimu di sana ya.

Oh ya, jangan bingung dengan aku yang menyenangi diriku sendiri sebagai teman. Karena tempat yang paling nyaman untuk menulis adalah kedai kopi di sudut kota. Sendiri dan menyendiri tak seburuk itu, yang terpenting adalah bagaimana caranya kamu tidak merasa sendirian. Entahlah, aku jadi merindukan kegiatan kecil seperti ini, seperti aku merindukan aku. Lagi-lagi, seperti aku merindukanmu.

Sayang, kamu tahu kan liburanku kali ini sangat membosankan, aku jengah tak ke mana-mana. Aku rindu meniti kereta dari stasiun Senen menuju Jogja, yang hampir 10 jam perjalanan pendengaranku bising oleh suara decit roda besi beradu dengan rel dan juga suaramu pastinya. Kamu mendengarkan apa saja yang aku lihat, sawah hijau yang membentang luas, sinar sore yang menembus jendela kaca di sampingku, atau pun orang-orang yang hilir mudik ke kamar kecil. Aku ingat kala itu kamu sedang memperjuangkanku. Betapa aku merindukan sebait demi bait kenangan kita.

Sayang, bisa kamu kirimkan ke sini saja hujan dari sana? Supaya mereka tidak dengan keji mengguyurmu. Supaya mereka dapat menemaniku menari dan meluruhkan rindu-rindu ini. Supaya mereka dapat memberiku langit biru lagi.

Salam, perindu yang sedang merindu.


Tangerang,
Februari 2015

Tidak ada komentar :

Posting Komentar