Rabu, 25 Februari 2015

Teruntuk Adik Cantikku



Teruntuk adik cantikku tersayang.

Aku sedang ingin menyempatkan diri menulis surat untukmu, aku rindu menghabiskan hari dengan bermalasan di rumah bersamamu dan dua adik cantikku yang lain. Bagaimana kabarmu, Dik? Bagaimana sekolahmu? Tetap semangat belajar ya, sekolahmu hanya tinggal menghitung beberapa puluh hari lagi bukan. Tetap fokus pada pelajaranmu, kau punya mimpi yang besar bukan.

Aku sedang berada di perpustakaan kampus ketika menulis surat ini, semester baruku baru dimulai hari ini, jadi waktuku agak sedikit lenggang. Harusnya sebagai mahasiswa tingkat akhir kuliahku sudah semakin padat, tapi aku tetap saja memimpikan travelling. Mau ikut aku menjelajah selulusmu sekolah nanti? Tapi kau jangan manja! Kau harus coba menyicipi indahnya semesta, Dik!

Oh ya, ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu. Sebenarnya aku ingin menyuratimu ketika kau genap berusia 17 tahun, akhir tahun lalu. Tapi aku terlalu malas, seperti tak ada orang spesial lain yang dapat kusurati saja. Haha.

Ah, aku jadi sedikit rindu rumah. Kapan kau ada waktu pulang ke rumah? Kau pasti selalu rindu rumah dan televisi kan? Dasar manja dan malas! Memangnya enak di asrama, haha. Tapi aku berani jamin, kelak kau akan rindu asramu, sekolahmu, teman-temanmu, dan mungkin cintamu semasa sekolah itu. Oh ya, jangan meratapi cinta melulu, dasar anak kecil! Cinta memang akrab dengan luka, Dik. Coba saja kau tanya semesta.

Pesanku, kau fokus saja dengan ujianmu nanti dan bagaimana caranya kau dapat masuk ke universitas serta fakultas maumu. Kau tahu seberapa banyak pesaingmu nanti? Pintar dan rajin saja tidak cukup, Dik. Kau juga harus jadi adikku yang beruntung yang harus dapat menggapai citanya. Oh ya, kau juga harus mempersiapkan peluang lain ya, agar nanti kau tak merasakan kesia-siaan. Maksudku, tak ada usaha kerasmu yang sia-sia. Karena hidup itu pelik Dik dan kau dituntut olehnya untuk tetap tangguh, dengar aku?!

Setelah kau melepas almamater sekolahmu nanti, kau akan menemui permasalahan yang besar. Namun perjalananmu masih panjang, jangan pernah berhenti untuk menyerah, ya! Nanti kau akan merasakan betapa kejamnya kuliah, justru dari itu manfaatkan sisa sekolahmu. Masa-masa paling indah memang masa putih abu-abu, Dik. Walau mungkin sekarang kau membencinya.

Apa pun yang ingin membuatmu terpuruk, jangan hiraukan. Baik itu perlakuan teman-temanmu, atau semua materi yang harus kau babat habis, atau pun cintamu yang tak terbalas. Ketika kau melangkahkan kaki dari sekolahmu nanti, biarkan suka dan luka tetap tinggal di sana, yang kelak akan kau tengoki dan kau rindui. Mereka lah yang akan berperan penting atas kokohnya kau di masa depan.

Salam,
Kakakmu yang selalu kau banggakan.


Tangerang,
Februari 2015

Selasa, 24 Februari 2015

Surat Tentang Rindu



Kepada kamu yang menanti surat-suratku, yang akan dibaca dengan tawa dan haru.

Umpama kamera merindukan cahaya
Umpama laut merindukan birunya langit
Umpama siluet merindukan mentari senja
Umpama dedaunan merindukan desau angin
Seperti aku merindukan kamu

Kala pesawat melandai aspal
Kala kota ini menyambut kunjungmu
Kala aku dapat menggandeng lenganmu yang kokoh
Kala kita kalahkan waktu dan jarak yang selama ini mencekat
Saat kenang merindukan tokoh nya

Ah, entah itu bait puisi, sajak atau prosa, aku tidak mengerti. Kuguratkan saja semua dengan tinta kelabu ini. Dia juga penuh menyelimuti kota, membuat pinggiran ibukota yang gersang ini terasa agak dingin dan penuh kenangan akanmu.

Oh, hai bang, aku lupa menyapamu. Di surat kali ini, biar aku bingkiskan rindu. Rindu yang sudah tak betah menetap bersamaku, mereka menyesakkan, terkadang menjalar menjadi silu di buku jemari tangan kananku, terkadang menjelma wujud basah yang hangat di pipi. Rindu yang desaunya lebih hingar dari pada angin musim gugur. Rindu yang membangkitkan paksa kenangan dari kuburnya. Kenapa mereka tak mati saja! Malah huru-hara menghantui setiap sudut pikiranku.

Sayang, maaf, jika aku rewel, selalu merengek ingin kamu manja. Maaf, jika kamu diharuskan menjadi dewasa tiap kali meladeniku. Maaf, jika hari dan hatimu selalu dipenuhi oleh aku melulu. Maaf, jika aku pemarah dan terlalu protektif. Maaf, karenaku kesehatanmu belakangan semakin menurun. Maaf, selalu membuatmu terjaga sampai sepertiga malam untuk menemani sampai aku tertidur, padahal kamu sudah sangat mengantuk dan tak semangat bercerita. Terima kasih, telah menyayangiku sebegitunya.

Entahlah, mengapa aku lupa bahwa aku ini cuek dan tak peduli akan apa pun, coba ingatkan aku, supaya kamu dapat sedikit bernafas dan bergerak. Aku tidak ingin selalu menyusahkanmu, membuat pikiranmu bertambah runyam. Coba bantu aku menerbangkan permasalahan kecil di antara kita, supaya kamu dapat terlelap dengan lega malam ini.

Jika kamu haru membaca ini, mungkin perasaanku sedang sedih. Sedih yang membungkus bahagiaku, sedih yang sedang berteman dengan ketakutan akan jarak kita. Sedih yang akan menjadi pilu jika nantinya kamu mengganti atmosfir nyamanmu. Sedih yang tak ingin kau bersedih. Sedih yang ingin aku remukkan saja! Tak usah pikirkan aku yang bersedih karena merindumu ini, harus tetap tersenyum menjalani harimu di sana ya.

Oh ya, jangan bingung dengan aku yang menyenangi diriku sendiri sebagai teman. Karena tempat yang paling nyaman untuk menulis adalah kedai kopi di sudut kota. Sendiri dan menyendiri tak seburuk itu, yang terpenting adalah bagaimana caranya kamu tidak merasa sendirian. Entahlah, aku jadi merindukan kegiatan kecil seperti ini, seperti aku merindukan aku. Lagi-lagi, seperti aku merindukanmu.

Sayang, kamu tahu kan liburanku kali ini sangat membosankan, aku jengah tak ke mana-mana. Aku rindu meniti kereta dari stasiun Senen menuju Jogja, yang hampir 10 jam perjalanan pendengaranku bising oleh suara decit roda besi beradu dengan rel dan juga suaramu pastinya. Kamu mendengarkan apa saja yang aku lihat, sawah hijau yang membentang luas, sinar sore yang menembus jendela kaca di sampingku, atau pun orang-orang yang hilir mudik ke kamar kecil. Aku ingat kala itu kamu sedang memperjuangkanku. Betapa aku merindukan sebait demi bait kenangan kita.

Sayang, bisa kamu kirimkan ke sini saja hujan dari sana? Supaya mereka tidak dengan keji mengguyurmu. Supaya mereka dapat menemaniku menari dan meluruhkan rindu-rindu ini. Supaya mereka dapat memberiku langit biru lagi.

Salam, perindu yang sedang merindu.


Tangerang,
Februari 2015

Senin, 23 Februari 2015

Mengenai Sahabat




Hai Bang, boleh aku meracau disuratku kali ini?

Begini, kau percaya dengan yang namanya sahabat? Aku sering kali berpikir sahabat itu tidak ada. Maksudku, adakah pendengar yang paling sempurna selain Tuhanmu? Adakah yang lebih mengerti dirimu ketimbang dirimu itu sendiri? Adakah yang selalu menemanimu setiap saat? Bahkan bayangan pun hilang ketika cahaya tak ada.

Seiring aku mendengar kalimat ‘sahabat itu selalu ada saat kita membutuhkannya.’, terkadang kata selalu ada itu tercipta setelah kau datang dan memintanya, bukan? Lalu bagaimana dengan cerita seseorang yang tak enak hati mencari keberadaan sahabatnya –dengan alasan tertentu–, sedang dia butuh, apakah hanya dengan berharap sahabatnya merasakan perasaanya saat itu lalu dengan serta merta sang sahabat ini ada saat dia membutuhkan. Kurasa tak ada manusia yang tercipta sesempurna itu.

Ah maafkan aku, mungkin ini terdengar terlalu kontra. Hehe

Begini, dalam beberapa persoalan, ada yang harus kau hadapi sendirian, kau harus berdiri dengan kedua kakimu, bukan tak ada orang yang membantumu atau tak ada satu pun orang terdekatmu yang menampakkan keberadaannya saat itu. Melainkan dalam hidup, kita dituntut untuk mandiri, tidak selamanya bergantung pada orang lain. Bukankah, harap berteman dekat dengan kecewa?

Dalam perjalananku berteman dengan banyak orang, dengan karakter, sifat dan sikap mereka yang beragam. Aku belajar bahwa jangan pernah menempatkan posisi seseorang lebih tinggi dari bagaimana kita di mata mereka, karena kecewa itu sakit, maka aku selamatkan lebih dahulu hatiku. Aku belajar, jangan dengan mudah menaruh hati dan kepercayaan, karena tidak setimpal jika suatu nanti kau ditikam belati oleh kepercayaan itu sendiri.

Oh ya, mengenai kalimatku di awal surat ini, bukan berarti aku tidak memiliki sahabat. Sahabatku jauh, dalam kurun waktu satu tahun, mungkin hanyak sekali dapat berkumpul lengkap, saling lempar hinaan dan gelak tawa. Walau tumbuh di tempat yang berjauhan, tidak berarti bahwa kebersamaan juga berjauhan. Bukankah sesuatu yang menajubkan hanya tibul sesekali waktu? Begitu lah persahabatan.

Aku juga punya mimpi, jika kelak aku juga haruslah bersahabat dengan lelakiku –maka tak ada alasan untuknya atau untukku melangkah pergi membanting pintu–. Berbagi apa saja, menceritakan apa saja, melakukan apa saja. Sebagai sahabat, sebagai abang, sebagai lelakiku. Lalu di sini lah kau sekarang.

Salam,

Minggu, 22 Februari 2015

Bapak Jalanan



Surat kepada bapak-bapak di jalanan

Wahai Bapak yang menghabiskan lebih dari separuh harinya di jalanan, yang selalu kulihat di jalanku pulang menuju rumah, padahal hari sudah semakin larut. Apakah Bapak tidak jenuh? Semenjak pagi buta hingga kota hampir tertidur, engkau duduk di tempat yang sama, di tepian jalanan.

Apakah Bapak tidak jengah? Hanya memandang kendaraan lalu lalang, apa lampu-lampu dari kendaraan tersebut tidak menyilaukan matamu? Apakah Bapak tidak merasa lelah? Dari siang yang terik sampai gerimis menyapu sekitar tempatmu duduk, engkau masih saja bersikukuh mengadahkan tangan.

Pernah sekali waktu kulihat pria muda, masih sehat kelihatannya, mengendarai kendaraan beroda dua menjemputmu di kala malam. Apakah itu anak Bapak? Walaupun bukan, kurasa ia masih berkepentingan erat dengan Bapak. Apakah ia tak sanggup menghidupi seorang lelaki tua makan tiga kali sehari dengan layak?

Kurasa tak seharusnya Bapak menekuni kegiatan tersebut di hari-hari Bapak yang semakin menua.
Kurasa air muka beliau tidak sarat lara jika di pagi nya ia menikmatinya dengan tersuguhkan secangkir kopi, membaca koran dengan kaca mata tua bertenggek di tulang hidungnya. Bermain dan mendongengkan kisah pada cucu-cucunya sepulangnya mereka sekolah. Andai saja.

Semoga hidup bapak-bapak di jalanan diberkahi Tuhan.


Tangerang,
22 Februari 2015

Sabtu, 21 Februari 2015

Kepada Sabtu Sore



Kepada sabtu sore ini,
Menetaplah agak lama
Kuharap ada senjamu yang merona sebentar lagi
Ah, andai saja kubawa kameraku, padahal cuacanya sedang bersahabat
Aku ingin sekali bisa mengabadikan mentari senjamu dalam bingkai yang indah

Kepada sabtu sore ini,
Entah mengapa aku mencintai waktu langit menjingga
Ketika mentari besar dan penuh bertengger di kaki langit
Ketika mega-mega bersandingan dengan sinarnya
Mungkin, karena aku merindukan suatu sore bersamanya

Kepada sabtu sore ini,
Mengapa petang datangnya hanya sekelibat?
Singkat dan sebentar
Seperti kedatangannya dua pekan lalu
Mungkin, itu lah makna keindahan, singkat dan sebentar

Kepada sabtu sore ini,
Mengapa warnamu terkadang menyiratkan kepiluan?
Pilu akan rindu yang menjingga
Mungkin, karena itu senja diciptakan
Menggenggam rindu dan harap yang tak dapat disampaikan

Kepada sabtu sore ini,
Mengapa setelahmu akan datang gelap?
Peranmu sebagai penengah antara siang dan malam
Mungkin, itu lah perbedaan
Ada sedih dan bahagia, timpang
Aku mencintai langit biru dan jingga senja
Sedang dia mencintaiku

Salam, pengagum sore


Tangerang,
21 Februari 2015

Senin, 16 Februari 2015

Bagaimana Rasanya Bersamaku?



Hai bang, ini ada surat lagi untukmu. Sempatkanlah untuk dibaca.

Aku hanya ingin menjawab pertanyaanmu beberapa jam yang lalu. "Bagaimana rasanya bersamaku?". Bagaimana rasanya bersamamu? Bodoh! Ya aku bahagia lah.
Seperti yang kamu katakan, memang ini terlihat mudah, mungkin ada beberapa orang yang mengirikan kita. Tetapi ini sulit, bukan maksudnya menyulitkan. Mencintaimu itu sulit, tapi aku mau mencintaimu.

Terkadang aku lelah, tapi bisa aku mohon padamu untuk menjadi tempatku bersandar dan beristirahat? Mungkin kamu bisa membagi tawa dengan segala leluconmu yang malah membuat aku cemberut, namun demi Tuhan aku suka, atau sekedar tersenyum saja padaku, kamu tahu kan aku begitu menyukai senyummu. Bukan dengan mendiamkan dan membiarkan aku semakin berkecamuk dengan pikiran burukku.

Tapi dibalik lelahku atas segala kekuranganmu, banyak hal-hal kecil yang kamu lakukan dan aku menyukainya. Seperti ketika memandangimu makan dengan begitu lahap, menggemaskan. Aku bahkan tak kuasa untuk tidak memberikan jatahku, haha, selamat tambah menggendut!

Aku suka ketika mendengarkanmu bercerita mengenai apa saja dengan penuh semangat sampai aku mengantuk dan tertidur. Kamu adalah pendongeng kesayanganku di setiap malamku.

Aku menyukai suara nafasmu ketika kamu tidur, membelai rambut dan wajahmu ketika terlelap dipangkuanku. Kamu adalah anak kecil yang selalu aku sayang. Ah, aku jadi rindu.

Aku suka nada bicaramu yang tenang, begitu menyejukkan. Aku suka kamu yang memanjakan ketika aku lelah atau marah. Pokoknya aku suka! Tapi bukan itu semua yang menjadi alasan aku mencintaimu.

Jangan berpikiran aku tidak bangga memilikimu. Bagaimana mungkin aku tidak beruntung memilikimu yang begitu sabar, aku berani jamin tidak akan pernah ada lelaki manapun yang mampu sesabar ini menghadapiku. Aku bangga atasmu yang telah dan mau melakukan banyak hal untukku, meski pernah kamu ingkari tapi aku percaya takkan berani kamu hempaskan hatiku, karena hati yang ada padaku adalah hatimu sendiri.

Oh ya, kamu tahu sekarang hampir pukul 5 pagi dan aku masih belum bisa kembali terlelap, jadi aku menulis saja untukmu sembari mendengar senandung lagu. Ya, ini lah aku ketika tenggelam dengan kata-kata, meski aku yakin kamu akan bilang tidak terharu setelah membaca surat ini dan tolong jangan marahi aku esok karena aku masih belum juga kembali tidur, hehe.

Entah bagaimana raut mukamu ketika membaca ini, aku senang dapat menulis untukmu. Sekian lama kita bersama baru sempat beberapa kali aku menulis untukmu, mungkin karena aku terlalu bahagia jadi tak pernah sempat sekalipun hanya bersajak. Jadi, bagaimana rasanya disurati oleh orang yang kamu cintai? Haha. Ah, biarkan aku balik bertanya padamu; Bagaimana rasanya bersamaku? Semoga kamu juga bahagia.

Selamat tidur seperti yang selalu kamu ucap setiap malam dan selamat pagi seperti yang selalu aku sampaikan setiap pagi.
Dari kesayanganmu.


Tangerang,
16 Februari 2015

Minggu, 15 Februari 2015

Jaga Kesehatanmu




Hai bang, bagaimana keadaanmu hari ini? Pesanku untukmu, jangan terlalu memanjakan diri ya, namun kesehatanmu tetap harus dijaga. Harus banyak makan! Harus tetap sehat!

Aku bukan tidak peduli, aku hanya kesal. Coba, berapa puluh kali ponselmu berdering semalam? Betapa tidak bisa nya kamu diganggu ketika sedang tidur. Kalau saja jarak kita dekat, mungkin kamu sudah aku hujami dengan pelukan-pelukan erat.

Oh ya, lewat surat ini saja aku ceritakan padamu keluh kesahku kemarin.
Ternyata bekerja itu melelahkan ya, untuk mendapatkan beberapa lembar kertas bernilai tinggi itu badanku serasa remuk.

Bekerja dari pagi hingga larut, harus menghadapi masalah di luar dugaan dan menghadapinya, bertemu orang baru, berkomunikasi dan bekerja sama, serta harus menghadapi watak orang yang berbeda-beda. Ternyata masih banyak sekali yang harus aku pelajari, melelahkan sekali. 

Tapi tak masalah, bekerja sesuai dengan hobi itu menyenangkan, bertemu dengan orang-orang yang mempunyai kesenangan yang sama. Belajar menyenangi yang sebenarnya bukan alurku, bahkan aku masih kurang mengerti dengan itu semua. Tapi kembali lagi, selalu ada yang pertama.

Mungkin ada kesenangan tersendiri untuk orang yang memiliki kegemaran sama denganku ketika mengabadikan sebuah momen. Namun ada kalanya keinginan untuk menjadi objek yang membuat momen tersebut. Bukankah itu romantis? Kapan waktu untuk kita? Hehe.

Harus mengurusi candle light dinner pasangan lain sedangkan aku saja tak sempat mengabarimu seharian. Oh ya, kemarin aku dapat cokelat lho dari beberapa temanku, haha. Bukankah berbagi kasih sayang itu kepada siapa saja ya, maka hidup kita pun akan penuh kasih.

Satu lagi yang terpenting, terima kasih telah dengan sabar menunggui kabarku ketika aku sibuk dengan segudang urusanku, meski pada akhirnya aku yang kesal karena ditinggal tidur. Mungkin ketika aku lelah dan sudah dipenuhi degan penat, kamulah tempat terakhirku untuk bersandar.

Semoga kondisimu hari ini membaik ya bang, tetap jaga kesehatan.


Salam damai dan sayang dariku.
Tangerang,
15 Februari 2015