Rabu, 13 Maret 2013

Bila Mana



Tulisanku hanyalah lanjutan dari tulisan-tulisan lalu. Menggores kata demi kata hingga menepi pada titik. Entah sejak kapan tokoh disajakku berubah menjadi kamu. Kamu, siapa sebenarnya? Datang lewat mimpi, lalu berpindah ke pikiran. Janganlah kamu merumah di situ, tiada banyak lahan. Dahulunya hanya satu yang menghuni, entah sekarang di mana. Sejauh pandangan, tak sering ku jumpa dia pulang.

Aku tak pernah benar-benar mendapati jelajahanku dikala lelap, beringsut mengiringiku ketika mentari menyingsing. Saat aku menatap semesta, dia mati. Maka kupastikan juga terhadapmu. Nyatanya, aku sudah malas meniti asa. Nyatanya, kita tak pernah benar-benar menyapa. Nyatanya, kita tak pernah benar-benar bicara. Hanyalah aku yang tak pernah benar-benar bisa membeda kamu dan kamu.

Bukankah malam berteman akrab dengan gelap? dan kamu tersela diantaranya. Terkadang lelap menjadi ketakutanku tersendiri. Aku takut bertemu mimpi, aku taku mendapati kamu di dalamnya.

Tapi akan hal yang sering singgah, benarkah ada makna yang pasti tersirat? Akan kamu melulu yang hadir, kadang tak sampai logikaku. Sejatinya, aku ragu mencari jawaban. Aku ragu menyelam mengetuk sendiri pintu usang hatiku memintakan jawab. Sejatinya, aku takut menyadari kamu berpindah pada pikiranku. Aku takut memikirkan bahwa pikiranku hampir mengutamakanmu. Aku malas untuk tahu bahwa aku mungkin akan mengulang cerita yang sama, membuang tinta menggoreskan calon luka. Kini aku tersadar aku tersesat, tiada tahu di mana, tiada tahu kamu siapa. Lalu, bila mana di akhir rasaku berpaling padamu jua, maafkanlah.

Minggu, 03 Maret 2013

Semestinya Tidak



Hai, lama tak mendengar kabarmu.

Lama sejak aku tak di sana lagi. Hanya sekedar ingin mengingatmu saja. Mengingat sedikit kegilaanku dulu. Mengingat apa yang dulu sangat aku cintai. Ya, mengingatmu. Bukannya aku melupakan, oleh karena memang kau tak pernah beranjak dari sana, menetap dipikiranku. 

Sang pemancar sudah hampir diperaduan, biarkan aku mengukir parasmu di langit sejenak. Mengingat lekuk-lekuk manis itu. Entahlah, seberapa sering aku mencoba menenggelamkan perasaan. Anggaplah saja memang sudah berbeda. Tapi pada akhirnya, tetap langkah itu ragu jua. 

Bukan apa, kisah yang pertama aku toreh-toreh hari-per-hari. Harus berakhir dengan sebagai pecundang dan pergi menyerah. Sakit sebenarnya. Tapi bisa apa aku?

Dulu, tak terhitung berapa pagi yang ku sapa dengan senyum. Ku beri tahu satu hal, senyum kecil-kecil itu, karenamu. Entah berapa kali aku lupa caranya bernafas dengan baik. Entah sudah berapa temu mataku dengan punyamu. Entah betapa Tuhan begitu mengasihiku pernah memberikan petang yang menyentuh. Ya, meski di penghujungnya tetap pesakitan-pesakitan lah yang tersisa.

Dan biar ku beri tahu satu hal lagi, masih ingat tetang sosok di seungkap ceritaku di hari lalu? Masih tak tahu kebenaran apa yang belum aku akui. Pernah disuatu siang, sebesat dia melewati tempatku duduk, mengapa saja jantungku berderu sepersekian detik lebih cepat. Mengapa? Sudah tak pernah jantungku bekerja begitu siaga lagi. Dulu, hanya terhadapmu. Tapi ini, ah entahlah..


Aku hanya belum siap, deru dentumnya cepat-cepat bekerja atas pada orang yang berbeda. Apa yang salah? Atau aku menyimpulkan salah? Ah, tidak, semestinya tidak! Kalaupun hati mulai memilih lagi, kalaupun, harusnya aku bisa kembali  mengutas senyum. Lantas?


November, 2012