Aku kuat, ma. Aku tak takut meski pelipisku dihadang bedil. Aku tak
akan menangis meski terposisi di bagian tergelap semesta sekalipun. Tapi
tidak dengan gertakan darimu, ma. Aku tak perlu penjelasan, kata tidak
darimu saja cukup, maka aku akan bungkam. Tak perlu kamu gelar kata yang
menyayat yang sudah pasti akan menandaskan kestabilan mental. Aku
bukan tidak mengerti, mungkin aku membuatnya menjadi; kamu melihat aku
seperti tidak pernah mau mengerti.
Aku mungkin membencimu, ma. Tetapi, tidak pernah ada benci yang lain yang binasa setelah satu titikan air mata.
Meski kutegaskan, aku lebih mencintai suamimu. Tapi sampai tempat ketiga pun, tetap akan menjadi mama, mama dan mama.
Meski kutegaskan, aku lebih mencintai suamimu. Tapi sampai tempat ketiga pun, tetap akan menjadi mama, mama dan mama.
Aku
adalah rupa anak yang tak akan bertahan lebih dari triwulan berada di
rumah. Tapi rumah tetaplah rumah, tempat di mana rindu bermuara.
Bukankah tak pernah ada sakit yang aku beri tahu. Karena membuatmu khawatir adalah sakit di atas rasa sakit.
Seumur
hidupku, mungkin lebih banyak waktu yang kuhabiskan untuk terlelap
ketimbang bertemu denganmu. Mungkin lebih banyak hal-hal yang aku
pelajari dari pengamatan di luar dibanding saat-saat kita duduk dan
makan di meja makan yang sama. Mungkin lebih banyak perasaan yang aku
angkat dalam liris dari pada yang aku ceritakan padamu. Tanpa mengurangi
rasa hormat, rindu siapa yang maha besar, ma?
Ma,
tidak akan ada yang bisa menggantikan surga dari telapakmu. Di sini
biar aku tuliskan kata yang tidak pernah terucap; aku mencintaimu, ma.
Salam,
putri sulungmu.
Tangerang,
6 April 2014. 23 : 20
6 April 2014. 23 : 20