Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku melihatmu ya?
Ternyata tahun pun enggan bertahan, lewat melenggang menjalankan takdirnya.
Entah saja aku berniat memutar ulang masa usang itu, masa yang sudah bisa
dibilang lalu.
Aku tidak berberat hati saat beranjak menjauh, seingatku aku
tidak membawanya, ia telah mati dan segenggam abunya kutanam di sana. Aku ingat
suara derap itu, untuk beberapa saat kita berada di satu ruang yang sama. Hari
terakhir dari hanya segelintir saja saat-saat mataku dapat menangkap sosokmu
dari jarak yang tak amat jauh. Dengan tetes-tetes rasa yang masih tersisa aku memotret
akhir dari rentet kenangan akanmu.
Aku tersenyum getir, lalu ingatan itu menarikku lebih dalam
lagi, lebih lampau lagi. Terlihat waktu pertama aku menemukanmu di tengah hiruk
piruk, wah, sepertinya aku sumbringah
sekali ya. Aku mencicit kecil terkesima. Ingin rasanya meneriakkan namamu. Tetapi,
aku lupa, aku tak tahu siapa engkau, masih dengan terkesimaan akanmu aku hanya
bergumam kecil “Siapa gerangan namanya?”. Mau kah kau turun ke sana dan
mengajakku berkenalan? Tidak, tidak, aku hanya bergurau. Tahukah, aku melukis
senyum saat menulis bagian ini, dan akan terus mengulang senyum itu saat
berulang-ulang membacanya.
Mungkin saat itu aku tidak paham, kalau setelahnya hariku
tak akan sama lagi. Mungkin saat itu aku juga tak paham, kalau setelahnya aku
akan mengenal apa itu mencintai, diam-diam.
Aku sedang menengadah menatap temanku, berbicara lewat
pancaran mataku menujunya, langit. Sudah agak lama dari jam pulang sekolah. Aku
menoleh pada dengkur suara kendaraan yang mendekat, terpaksa menghentikan
kegiatanku. Aku menjelikan pandangan, ah,
sepertinya benar, itu serupa orang yang saban hari aku pandangi di tengah
kebisingan yang ditimbulkannya. Aku tak harus berdiam seperti itu saja. Ya,
saat itu juga aku berlari terengah.. Hei, teman, jangan terlalu serius membaca,
aku tak mungkin menghampirinya dan dengan laknat menampakkan diri. Aku berlari
terengah pada setumpuk absensi siswa dan mencabikinya demi mendapatkan
sederetan abjad tersulap nama. Dan di situ lah aku, dengan segenggam namamu,
dengan ulasan senyum sebahagia mungkin. Dan di sini lah aku, mengingat sekeping
kebodohanku untuk orang yang kemarin aku cintai.
Kau tak teranalogi layaknya bulan, yang terkadang redup
sebelah, terkadang sengaja menyelimuti diri dengan segempul mega. Kau memiliki
tempat dengan penerangan tersendiri di sebidang hatiku. Meluas, meluas, meluas
hingga mejajah sepenuhnya. Saat perasaanku mengembang lalu tertumpah ruah,
mengapa seperti engkau tahu ada selirik mata yang membuntuti kemana tapakanmu
menjajak, iya kah? Sepertinya aku terlalu membesar hati, namun sekecil itu lah
hatiku berani merasa. Jika kau risih, maaf.
Kau tinggi, menjulang tinggi. Menengadah menatapmu saja
kepalaku tercekat. Tak apa, cekatan itu renggang saat ujung mataku masih dapat
memandangmu. Kau adalah langit, langit ketika malam yang ditebari
bintang-bintang. Banyak bintang itu adalah jumlah pemilik napas pendek-pendek
ketika melihat rupa tampanmu. Kau, kuasa semesta.
Sedang aku, siapa lah aku. Hanya dengan setetes daya berani
mengagumi, memupuk daya hingga menyukai. Lalu aku terperosok jatuh dalam
kebisuan. Lama sampai aku lupa seberapa lama keterjatuhan itu menyeretku ke
palung hati paling dasar. Memang, ulah selalu menciptakan akibat. Aku tanggung
luka-luka yang kemungkinan berjajar di depan asal derap-derap langkahmu dari
muka gerbang hingga berakhir di balik pintu kelas masih terpandang. Tenang, aku
tak akan memiliki keberanian meski hanya sekedar asa untuk berlari mengguncang
kokoh tubuhmu demi mengucap kata hei.
Memang aku sudah memilih diam dan nampaknya tak ada pilihan lain. Terkadang
hidup tak selalu tentang banyak pilihan, bukan begitu teman?. Dan kau, tetaplah
untuk tidak tahu -dan semoga kau yang terlihat risih, hanya lah perkiraan
belaka. Bukankah hidup juga tentang mengira-ngira?- atau aku yang sudah lancang
jatuh ini akan berniat menjatuhkan diri ke lubang berbeda hingga pecah tanpa
sisa.
Kembali ke kini. Aku sedang di sebuah kota, niat untuk
memanjakan sejenak rasa rindu yang mengendap. Rindu pada kota ini? Lebih banyak
padamu sih. Kota yang dingin, ya
dingin sepertimu. Aku ingat ketika darahku tak ingin mengalir dan memilih
membeku saat menangkap sosokmu yang menapak angkuh. “Kenapa bisa kau mencinta?
Air muka yang tak pernah mejelmakan keramahan.” Biarkan saja temanku mengumpat.
Atau mungkin pertanyaan itu lebih aku cerna seperti “Kenapa malah nyatanya
memang hal itu yang membuat aku mencandu?” Entahlah.
Sudah setahun ini, terbang pergi memang keinginanku,
keinginan tentang ketidak mau tahuanku lagi perihal yang berhubungan denganmu.
Namun ketika hati menjerit-jeritkan rindu, aku tak dapat berbuat apa-apa. ketika
rindu ini meraung-raung, aku juga tak dapat terus berpura-pura tuli. Bukankah berpura-pura
membuta dan menuli itu mudah? Terkadang hidup juga tentang berkepura-puraan. Hanya
saja rindu itu telaten menguliti sandiwaraku.
Kau yang kini, hanya terjelma kenangan. Lehai-helai kenangan
-yang kutoreh sendiri dulu- akan kubacakan lagi laksana membacakan dongeng
sebelum tidur pada rindu yang sering kali datang mengunjungi hati yang sudah
rentah ini.
Lagi-lagi aku teringat dulu, sungguh ingatan yang payah,
ingatan yang tak berkronologis. Pada bulan-bulan terakhir, -setahun sudah
melintas- aku sudah benar-benar tak ingin memandangmu di lamunku lagi. Kau yan
dulu, pernah sudah dimiliki, betapa semesta berpihak padanya ya.
Sakit, bisa aku bilang itu sakit? Perihal sakit yang tak
bertumbal. Tak ada yang dapat aku salahkan selain diriku sendiri. Tak ada juga
yang dapat aku sesalkan selain keputusanku sendiri. Tak ada aku yang dapat
memandangimu berlama-lama lagi, tak ingin lagi aku menggerakkan kepala menuju
arahmu. Tak ada lagi sautan riang dari pita suaraku ketika temanku berucap “hei,
kau tak mau lihat di sana ada siapa?” Hanya senyuman getir yang kuukir, tentu
tanpa harus bersusah-susah agak memutar otot leher menatap pesakitanku. Sudah
tak pantas, bukankah begitu? Memang aku tak pernah nyata di duniamu, dan memang
kau hanya nyata dalam diamku. Pinta terakhir yang kutitipkan pada yang maha,
semoga engkau berbahagia.
Ya, aku merasakan sedikit bahagia saat kau terlihat bahagia,
hah, pada dasarnya aku tak pernah
benar-benar bisa menerka apa yang terlihat dan membuat diriku sendiri mencoba
paham. Dan ya, aku merasakan sisi yang teramat tersayat saat aku menengoki
hatiku yang layu ini mati, benar-benar mati. Sudah sepantasnya jasadnya
dimakamkan. Yang aku sadari sekarang bukankah aku yang mencintaimu lebih dulu?
Terlepas dari bagaimana kau dan dia telah menjadi kalian. Namun lagi-lagi yang
aku sadari sekarang kau yang kini, hanya terjelma kenangan saja.
Saat kau sudah tak bersama-sama wanita itu pun, aku juga tak
paham harus apa. Kau yang dengan atau tanpa wanita di sampingmu, tetap saja aku
tak bisa apa-apa. Yang aku bisa hanya mentintakan tulisan tak layak edar ini.
Sini biar kuberi tahu, saat ini, ya detik ini sampai tanda titik terakhir
tulisan ini, aku sedang berperan sebagai perindu yang merindumu.
Maaf untuk masih saja merindukanmu. Perihal perasaan, walau
sekarang ada yang sangat pintar menyelinap di sepotong tidurku. Tempatmu tidak
tergantikan, bersusah payah pun aku mengusirmu paksa, tak kan bisa. Kau memang
masih punya lahanmu tersendiri. Sejatinya, memang aku tak pernah berniat
menggantikanmu. Namun, jika nanti -suatu saat nanti, mungkin- cerita tentangmu
kuakhiri, tak apa ya? Mungkin aku akan berkeliling sebentar. Mungkin aku juga akan menulis cerita tentangmu lagi
ketika aku sudah menua. Entahlah.
Di penghujung ini ada rentetan kata terakhir yang ingin aku
tintakan. Iya. Selamat untukmu, selamat ulang tahun. Semoga berbahagia hidupmu
ya.
Salam dari yang kemarin mencintaimu.
Bandung,
25 Juni 2013