Rabu, 30 Maret 2016

Dibenci?



Kupelihara rindu ini supaya tak mati, ia layu dan membusuk. Kurawat ia seorang diri, karena tanpa nya aku sebatang kara.


Jauh, kau semakin jauh kuraih. Jalanmu semakin cepat, bahkan nampak seperti berlari. Apakah tujuan kita semakin dekat? Kau tak merubah arah kan, hei? Kau tak mendengar, jangan berlomba dengan ego karena ia hidup di dalam diri kita. Coba kita toleh ke belakang banyak rumpunan bahagia yang kita tanam, ada manis saat kau dekap aku sayang pertama  kali, air mata berceceran yang membahasi gersangnya perjalanan ini, ada guratan senang di wajah kokohmu ketika aku menemukan sesuatu di jalan, yang aku berikan dan kau mengenakannya, kau nampak rupawan.

Tuan, aku kini kelelahan, izinkan aku kau dekap sebentar, bersandar pada kekar bahumu. Perjalanan ini semakin sulit, tapi aku masih sanggup berjalan asal kau jangan tinggalkan aku. Tanpamu di sampingku, aku hilang arah. Tanpamu di sampingku, aku hanya berteman rindu. Jika kau pun lelah tak apa beristirahat, kita cari pohon rindang untuk berteduh, terpejamlah, aku suka memandangimu ketika kau terlelap, pernah kau mimpikan aku di tidurmu, tuan?

Tuan, mengapa tak kau gandeng aku saja? Langkahmu besar-besar, kau berjalan terlalu di depan. Meski yang kita temui hanya jalan setapak, aku bisa berjalan di belakangmu. Jika pun hanya bisa melangkahkan sepasang kaki, biar aku menjelma menjadi bayanganmu. Bahkan jika jalan itu gelap sekali sehinnga bayangan pun tak nampak, kau tenang saja, aku terlebih dulu mengenal kegelapan sebelum dicerahkan hariku olehmu, yakin aku mampu bertahan.

Tuan, aku ini lemah, jangan paksa aku terluka dalam lara. Mengapa sayangmu semakin memudar? Mengapa pedulimu tak ada lagi? Apakah aku dibenci? Atau tak disayangimu lagi? Tuan, jika pun hatimu menjelma batu, aku akan belajar menjadi air dari suling yang terus mengalir menujumu. Kau itu baik, tuan, rongsokan hatiku saja mau kau pungut.

Rabu, 25 Februari 2015

Teruntuk Adik Cantikku



Teruntuk adik cantikku tersayang.

Aku sedang ingin menyempatkan diri menulis surat untukmu, aku rindu menghabiskan hari dengan bermalasan di rumah bersamamu dan dua adik cantikku yang lain. Bagaimana kabarmu, Dik? Bagaimana sekolahmu? Tetap semangat belajar ya, sekolahmu hanya tinggal menghitung beberapa puluh hari lagi bukan. Tetap fokus pada pelajaranmu, kau punya mimpi yang besar bukan.

Aku sedang berada di perpustakaan kampus ketika menulis surat ini, semester baruku baru dimulai hari ini, jadi waktuku agak sedikit lenggang. Harusnya sebagai mahasiswa tingkat akhir kuliahku sudah semakin padat, tapi aku tetap saja memimpikan travelling. Mau ikut aku menjelajah selulusmu sekolah nanti? Tapi kau jangan manja! Kau harus coba menyicipi indahnya semesta, Dik!

Oh ya, ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu. Sebenarnya aku ingin menyuratimu ketika kau genap berusia 17 tahun, akhir tahun lalu. Tapi aku terlalu malas, seperti tak ada orang spesial lain yang dapat kusurati saja. Haha.

Ah, aku jadi sedikit rindu rumah. Kapan kau ada waktu pulang ke rumah? Kau pasti selalu rindu rumah dan televisi kan? Dasar manja dan malas! Memangnya enak di asrama, haha. Tapi aku berani jamin, kelak kau akan rindu asramu, sekolahmu, teman-temanmu, dan mungkin cintamu semasa sekolah itu. Oh ya, jangan meratapi cinta melulu, dasar anak kecil! Cinta memang akrab dengan luka, Dik. Coba saja kau tanya semesta.

Pesanku, kau fokus saja dengan ujianmu nanti dan bagaimana caranya kau dapat masuk ke universitas serta fakultas maumu. Kau tahu seberapa banyak pesaingmu nanti? Pintar dan rajin saja tidak cukup, Dik. Kau juga harus jadi adikku yang beruntung yang harus dapat menggapai citanya. Oh ya, kau juga harus mempersiapkan peluang lain ya, agar nanti kau tak merasakan kesia-siaan. Maksudku, tak ada usaha kerasmu yang sia-sia. Karena hidup itu pelik Dik dan kau dituntut olehnya untuk tetap tangguh, dengar aku?!

Setelah kau melepas almamater sekolahmu nanti, kau akan menemui permasalahan yang besar. Namun perjalananmu masih panjang, jangan pernah berhenti untuk menyerah, ya! Nanti kau akan merasakan betapa kejamnya kuliah, justru dari itu manfaatkan sisa sekolahmu. Masa-masa paling indah memang masa putih abu-abu, Dik. Walau mungkin sekarang kau membencinya.

Apa pun yang ingin membuatmu terpuruk, jangan hiraukan. Baik itu perlakuan teman-temanmu, atau semua materi yang harus kau babat habis, atau pun cintamu yang tak terbalas. Ketika kau melangkahkan kaki dari sekolahmu nanti, biarkan suka dan luka tetap tinggal di sana, yang kelak akan kau tengoki dan kau rindui. Mereka lah yang akan berperan penting atas kokohnya kau di masa depan.

Salam,
Kakakmu yang selalu kau banggakan.


Tangerang,
Februari 2015

Selasa, 24 Februari 2015

Surat Tentang Rindu



Kepada kamu yang menanti surat-suratku, yang akan dibaca dengan tawa dan haru.

Umpama kamera merindukan cahaya
Umpama laut merindukan birunya langit
Umpama siluet merindukan mentari senja
Umpama dedaunan merindukan desau angin
Seperti aku merindukan kamu

Kala pesawat melandai aspal
Kala kota ini menyambut kunjungmu
Kala aku dapat menggandeng lenganmu yang kokoh
Kala kita kalahkan waktu dan jarak yang selama ini mencekat
Saat kenang merindukan tokoh nya

Ah, entah itu bait puisi, sajak atau prosa, aku tidak mengerti. Kuguratkan saja semua dengan tinta kelabu ini. Dia juga penuh menyelimuti kota, membuat pinggiran ibukota yang gersang ini terasa agak dingin dan penuh kenangan akanmu.

Oh, hai bang, aku lupa menyapamu. Di surat kali ini, biar aku bingkiskan rindu. Rindu yang sudah tak betah menetap bersamaku, mereka menyesakkan, terkadang menjalar menjadi silu di buku jemari tangan kananku, terkadang menjelma wujud basah yang hangat di pipi. Rindu yang desaunya lebih hingar dari pada angin musim gugur. Rindu yang membangkitkan paksa kenangan dari kuburnya. Kenapa mereka tak mati saja! Malah huru-hara menghantui setiap sudut pikiranku.

Sayang, maaf, jika aku rewel, selalu merengek ingin kamu manja. Maaf, jika kamu diharuskan menjadi dewasa tiap kali meladeniku. Maaf, jika hari dan hatimu selalu dipenuhi oleh aku melulu. Maaf, jika aku pemarah dan terlalu protektif. Maaf, karenaku kesehatanmu belakangan semakin menurun. Maaf, selalu membuatmu terjaga sampai sepertiga malam untuk menemani sampai aku tertidur, padahal kamu sudah sangat mengantuk dan tak semangat bercerita. Terima kasih, telah menyayangiku sebegitunya.

Entahlah, mengapa aku lupa bahwa aku ini cuek dan tak peduli akan apa pun, coba ingatkan aku, supaya kamu dapat sedikit bernafas dan bergerak. Aku tidak ingin selalu menyusahkanmu, membuat pikiranmu bertambah runyam. Coba bantu aku menerbangkan permasalahan kecil di antara kita, supaya kamu dapat terlelap dengan lega malam ini.

Jika kamu haru membaca ini, mungkin perasaanku sedang sedih. Sedih yang membungkus bahagiaku, sedih yang sedang berteman dengan ketakutan akan jarak kita. Sedih yang akan menjadi pilu jika nantinya kamu mengganti atmosfir nyamanmu. Sedih yang tak ingin kau bersedih. Sedih yang ingin aku remukkan saja! Tak usah pikirkan aku yang bersedih karena merindumu ini, harus tetap tersenyum menjalani harimu di sana ya.

Oh ya, jangan bingung dengan aku yang menyenangi diriku sendiri sebagai teman. Karena tempat yang paling nyaman untuk menulis adalah kedai kopi di sudut kota. Sendiri dan menyendiri tak seburuk itu, yang terpenting adalah bagaimana caranya kamu tidak merasa sendirian. Entahlah, aku jadi merindukan kegiatan kecil seperti ini, seperti aku merindukan aku. Lagi-lagi, seperti aku merindukanmu.

Sayang, kamu tahu kan liburanku kali ini sangat membosankan, aku jengah tak ke mana-mana. Aku rindu meniti kereta dari stasiun Senen menuju Jogja, yang hampir 10 jam perjalanan pendengaranku bising oleh suara decit roda besi beradu dengan rel dan juga suaramu pastinya. Kamu mendengarkan apa saja yang aku lihat, sawah hijau yang membentang luas, sinar sore yang menembus jendela kaca di sampingku, atau pun orang-orang yang hilir mudik ke kamar kecil. Aku ingat kala itu kamu sedang memperjuangkanku. Betapa aku merindukan sebait demi bait kenangan kita.

Sayang, bisa kamu kirimkan ke sini saja hujan dari sana? Supaya mereka tidak dengan keji mengguyurmu. Supaya mereka dapat menemaniku menari dan meluruhkan rindu-rindu ini. Supaya mereka dapat memberiku langit biru lagi.

Salam, perindu yang sedang merindu.


Tangerang,
Februari 2015

Senin, 23 Februari 2015

Mengenai Sahabat




Hai Bang, boleh aku meracau disuratku kali ini?

Begini, kau percaya dengan yang namanya sahabat? Aku sering kali berpikir sahabat itu tidak ada. Maksudku, adakah pendengar yang paling sempurna selain Tuhanmu? Adakah yang lebih mengerti dirimu ketimbang dirimu itu sendiri? Adakah yang selalu menemanimu setiap saat? Bahkan bayangan pun hilang ketika cahaya tak ada.

Seiring aku mendengar kalimat ‘sahabat itu selalu ada saat kita membutuhkannya.’, terkadang kata selalu ada itu tercipta setelah kau datang dan memintanya, bukan? Lalu bagaimana dengan cerita seseorang yang tak enak hati mencari keberadaan sahabatnya –dengan alasan tertentu–, sedang dia butuh, apakah hanya dengan berharap sahabatnya merasakan perasaanya saat itu lalu dengan serta merta sang sahabat ini ada saat dia membutuhkan. Kurasa tak ada manusia yang tercipta sesempurna itu.

Ah maafkan aku, mungkin ini terdengar terlalu kontra. Hehe

Begini, dalam beberapa persoalan, ada yang harus kau hadapi sendirian, kau harus berdiri dengan kedua kakimu, bukan tak ada orang yang membantumu atau tak ada satu pun orang terdekatmu yang menampakkan keberadaannya saat itu. Melainkan dalam hidup, kita dituntut untuk mandiri, tidak selamanya bergantung pada orang lain. Bukankah, harap berteman dekat dengan kecewa?

Dalam perjalananku berteman dengan banyak orang, dengan karakter, sifat dan sikap mereka yang beragam. Aku belajar bahwa jangan pernah menempatkan posisi seseorang lebih tinggi dari bagaimana kita di mata mereka, karena kecewa itu sakit, maka aku selamatkan lebih dahulu hatiku. Aku belajar, jangan dengan mudah menaruh hati dan kepercayaan, karena tidak setimpal jika suatu nanti kau ditikam belati oleh kepercayaan itu sendiri.

Oh ya, mengenai kalimatku di awal surat ini, bukan berarti aku tidak memiliki sahabat. Sahabatku jauh, dalam kurun waktu satu tahun, mungkin hanyak sekali dapat berkumpul lengkap, saling lempar hinaan dan gelak tawa. Walau tumbuh di tempat yang berjauhan, tidak berarti bahwa kebersamaan juga berjauhan. Bukankah sesuatu yang menajubkan hanya tibul sesekali waktu? Begitu lah persahabatan.

Aku juga punya mimpi, jika kelak aku juga haruslah bersahabat dengan lelakiku –maka tak ada alasan untuknya atau untukku melangkah pergi membanting pintu–. Berbagi apa saja, menceritakan apa saja, melakukan apa saja. Sebagai sahabat, sebagai abang, sebagai lelakiku. Lalu di sini lah kau sekarang.

Salam,

Minggu, 22 Februari 2015

Bapak Jalanan



Surat kepada bapak-bapak di jalanan

Wahai Bapak yang menghabiskan lebih dari separuh harinya di jalanan, yang selalu kulihat di jalanku pulang menuju rumah, padahal hari sudah semakin larut. Apakah Bapak tidak jenuh? Semenjak pagi buta hingga kota hampir tertidur, engkau duduk di tempat yang sama, di tepian jalanan.

Apakah Bapak tidak jengah? Hanya memandang kendaraan lalu lalang, apa lampu-lampu dari kendaraan tersebut tidak menyilaukan matamu? Apakah Bapak tidak merasa lelah? Dari siang yang terik sampai gerimis menyapu sekitar tempatmu duduk, engkau masih saja bersikukuh mengadahkan tangan.

Pernah sekali waktu kulihat pria muda, masih sehat kelihatannya, mengendarai kendaraan beroda dua menjemputmu di kala malam. Apakah itu anak Bapak? Walaupun bukan, kurasa ia masih berkepentingan erat dengan Bapak. Apakah ia tak sanggup menghidupi seorang lelaki tua makan tiga kali sehari dengan layak?

Kurasa tak seharusnya Bapak menekuni kegiatan tersebut di hari-hari Bapak yang semakin menua.
Kurasa air muka beliau tidak sarat lara jika di pagi nya ia menikmatinya dengan tersuguhkan secangkir kopi, membaca koran dengan kaca mata tua bertenggek di tulang hidungnya. Bermain dan mendongengkan kisah pada cucu-cucunya sepulangnya mereka sekolah. Andai saja.

Semoga hidup bapak-bapak di jalanan diberkahi Tuhan.


Tangerang,
22 Februari 2015

Sabtu, 21 Februari 2015

Kepada Sabtu Sore



Kepada sabtu sore ini,
Menetaplah agak lama
Kuharap ada senjamu yang merona sebentar lagi
Ah, andai saja kubawa kameraku, padahal cuacanya sedang bersahabat
Aku ingin sekali bisa mengabadikan mentari senjamu dalam bingkai yang indah

Kepada sabtu sore ini,
Entah mengapa aku mencintai waktu langit menjingga
Ketika mentari besar dan penuh bertengger di kaki langit
Ketika mega-mega bersandingan dengan sinarnya
Mungkin, karena aku merindukan suatu sore bersamanya

Kepada sabtu sore ini,
Mengapa petang datangnya hanya sekelibat?
Singkat dan sebentar
Seperti kedatangannya dua pekan lalu
Mungkin, itu lah makna keindahan, singkat dan sebentar

Kepada sabtu sore ini,
Mengapa warnamu terkadang menyiratkan kepiluan?
Pilu akan rindu yang menjingga
Mungkin, karena itu senja diciptakan
Menggenggam rindu dan harap yang tak dapat disampaikan

Kepada sabtu sore ini,
Mengapa setelahmu akan datang gelap?
Peranmu sebagai penengah antara siang dan malam
Mungkin, itu lah perbedaan
Ada sedih dan bahagia, timpang
Aku mencintai langit biru dan jingga senja
Sedang dia mencintaiku

Salam, pengagum sore


Tangerang,
21 Februari 2015