Kerap aku dan kau sepapas. Kau hantarkan senyum, maka
kubalas senyum. Ya, kita yang kini,
hanya itu, begitu kan? Dari senyum sepapas itu aku mengharap sapamu, hari ini,
esoknya, tiada juga. Salah aku mengharap. Lupa aku, kau ramah. Salah pengartian
aku rupanya.
Begini, aku hanya tak rela kalau harus terperanjat sepihak. Bagaimana kalau kita
buat sama rata? Apa kau jengah? Maksudku, aku lelah jika harus terus membenam
rasa pada orang yang bahkan tak sudi menatap. Olehmu, aku pernah dicintai. Meski
mungkin sudah tidak.
Jika kusuguhkan maaf, akankah kau biarkan hingga dingin? Bisa
kumohon? Berlarilah, aku sudah kembali pada di mana tempat terakhir aku
beranjak. Kau masih ingat, kan?
Kemarin kau tanya lalu. Aku bilang, sudahlah. Bukan karena
aku benci, tak pernah. Sekotak kenang tentang kita, kini berceceran, hanya
karena melihatmu lagi. Sungguh, aku lemah jika terus menghadapmu. Kupikir aku
ini tegar, membanting pintu lantas pergi. Ah,
ternyata kutemui lagi kau di persimpangan ini.
Kemarin kau bilang rindu. Bodoh! Aku juga. Pekalah, lebih
dari itu kau tak lihat aku memperjuangkanmu. Sepeninggalanku dulu, kau sudah
banyak melompati batu. Ah, aku mana perduli dengan si masa-masa lalumu. Biar kupertegas,
kita juga pernah punya masa lalu bersama.
Terima kasih kau mengubris harapku ini. Terima kasih sudah
datang, mengetuk hati ini lagi. Mari, tulis cerita kita yang baru. Mari,
berjalan bersisihan lagi denganku. Perihal perbedaan kita, kau penantang arus. Aku
tahu.
Hei, bisa kita berbagi? Ucap saja apa yang membendung. Kita tak
pernah saling tahu jika tak saling mengungkap. Aku tak selalu bisa leluasa
duduk di sampingmu meninkmati angin senja. Jarak ini membuat waktuku selalu
menanti jumpa.
Sedalam ini rasaku terhadapmu kini, sedalam ini ketahuilah. Terkadang
rinduku sampai-sampai bersimpuh, tak tahu arah bermuara. Aku hanya minta satu,
bagi aku sedikit waktu berhargamu itu. Takkan kuindahkan lagi mereka yang datang.
Setialah, kau bisa mempercayaiku kali ini.
Tangerang,
8 November 2013