Jumat, 13 Juni 2014

Terbangunkan



Apa lagi yang bisa perempuan ini ceritakan pada Tuhan
Mimpi-mimpi tentangmu yang menahun
Dia melihat di setiap dia menutup mata
Matamu yang tersenyum padanya setiap malam
Dia melihat pada nyata
Bahkan dia belum terbangun dari mimpi indah

Dia mencintai Tuhan
Tapi kamu dekat dengan Tuhan
Atau caranya hanya berbeda
Tidak, dia tidak mendekati Tuhan untuk mendekatimu
Hanya bertanya dia, "Tuhan, mengapa tokoh di buku mimpiku hanya seorang? Umatmu yang berdiri di hadap mimbar itu."

Terkadang mimpi indah itu mengganggu
Kubilang juga apa
Jangan coba panggil perempuan itu
Kamu menciptakan atmosfir kegembiraannya
Maniknya berbinar dan bercerita pada semesta
Ah, nanti juga bosan hatinya tersenyum

Lalu kamu bertemu jelita, mencintainya karena Tuhan
Dia ini hanya apalah
Masuk ke rumah ibadah karena kamu sedang berdoa
Maka terbangunkan dia oleh petir yang kamu ucap
Terbangun dia dari siksaan mimpi panjang

Basah sudah pipi perempuan ini
Tak nyatakah mimpinya?
Memang, mimpi mana yang nyata?
Sudah, aku sudah tertohok
Terbangunkan oleh tokoh mimpiku sendiri
Perempuan ini patah hatinya


Tangerang
11 Juni 2014

Minggu, 06 April 2014

Dear, Mama

Aku kuat, ma. Aku tak takut meski pelipisku dihadang bedil. Aku tak akan menangis meski terposisi di bagian tergelap semesta sekalipun. Tapi tidak dengan gertakan darimu, ma. Aku tak perlu penjelasan, kata tidak darimu saja cukup, maka aku akan bungkam. Tak perlu kamu gelar kata yang menyayat yang sudah pasti akan menandaskan kestabilan mental. Aku bukan tidak mengerti, mungkin aku membuatnya menjadi; kamu melihat aku seperti tidak pernah mau mengerti. 

Aku mungkin membencimu, ma. Tetapi, tidak pernah ada benci yang lain yang binasa setelah satu titikan air mata.

Meski kutegaskan, aku lebih mencintai suamimu. Tapi sampai tempat ketiga pun, tetap akan menjadi mama, mama dan mama

Aku adalah rupa anak yang tak akan bertahan lebih dari triwulan berada di rumah. Tapi rumah tetaplah rumah, tempat di mana rindu bermuara. 

Bukankah tak pernah ada sakit yang aku beri tahu. Karena membuatmu khawatir adalah sakit di atas rasa sakit.

Seumur hidupku, mungkin lebih banyak waktu yang kuhabiskan untuk terlelap ketimbang bertemu denganmu. Mungkin lebih banyak hal-hal yang aku pelajari dari pengamatan di luar dibanding saat-saat kita duduk dan makan di meja makan yang sama. Mungkin lebih banyak perasaan yang aku angkat dalam liris dari pada yang aku ceritakan padamu. Tanpa mengurangi rasa hormat, rindu siapa yang maha besar, ma

Ma, tidak akan ada yang bisa menggantikan surga dari telapakmu. Di sini biar aku tuliskan kata yang tidak pernah terucap; aku mencintaimu, ma.

Salam,
putri sulungmu.


Tangerang,
6 April 2014. 23 : 20

Selasa, 01 April 2014

Pergilah Mengambang





Iya atau tidak, kau bahkan tak pernah sekalipun mencintaiku untuk kedua kalinya? Katakan iya atau tidak, semua tipu daya ini hanya sekedar untuk kau punya pembanggaan? Katakan padaku, kau lari karena kau seorang pecundang! Oh, maafkan aku, aku lupa kau tak dapat berbicara.

Kau pikir aku mencintaimu? Kau pikir kau dapat memperalat isi hatiku? Ha..ha..ha. Asal kau pikir saja, aku tidak punya hati, atau bahkan rongsokannya. Oh, maafkan aku, aku lupa kau tak dapat berpikir.

Kau tak menggengam apa-apa, saudaraku. Itu semu, hanya ampas angin yang menyelinap paksa di celah buku-buku jarimu. Kau meremukkan apa? Waktu, atau hatimu sendiri? Oh, maafkan aku, lagi-lagi aku lupa kau tak berhati.

Kau jangan begitu. Kau itu cerminanku. Kau jahat, aku sudah jahat. Kau benci, aku semakin membenci.  Dengar, aku dapat menjelma batu, bahkan lebih keras dari engkau. Oh, maafkan aku, aku lupa kau pun tak dapat mendengar.

Kau anggap ini pembelaan? Bukan saudaraku, ini pembenaran.

Kau tahu kau sudah dilupakan, kan. Tak berguna kau datang lagi, pergilah mengambang di anak sungai, akan kutemui jasadmu di laut. Tapi tak ada air mata, ya, garam laut kukira sudah cukup membuat ragamu asin.


Menepi sajalah, kau tak akan tahan dengan arusku. Tak pernah seorang pun.
Tangerang,
1 April 2014. 19 : 38