Senin, 23 Februari 2015

Mengenai Sahabat




Hai Bang, boleh aku meracau disuratku kali ini?

Begini, kau percaya dengan yang namanya sahabat? Aku sering kali berpikir sahabat itu tidak ada. Maksudku, adakah pendengar yang paling sempurna selain Tuhanmu? Adakah yang lebih mengerti dirimu ketimbang dirimu itu sendiri? Adakah yang selalu menemanimu setiap saat? Bahkan bayangan pun hilang ketika cahaya tak ada.

Seiring aku mendengar kalimat ‘sahabat itu selalu ada saat kita membutuhkannya.’, terkadang kata selalu ada itu tercipta setelah kau datang dan memintanya, bukan? Lalu bagaimana dengan cerita seseorang yang tak enak hati mencari keberadaan sahabatnya –dengan alasan tertentu–, sedang dia butuh, apakah hanya dengan berharap sahabatnya merasakan perasaanya saat itu lalu dengan serta merta sang sahabat ini ada saat dia membutuhkan. Kurasa tak ada manusia yang tercipta sesempurna itu.

Ah maafkan aku, mungkin ini terdengar terlalu kontra. Hehe

Begini, dalam beberapa persoalan, ada yang harus kau hadapi sendirian, kau harus berdiri dengan kedua kakimu, bukan tak ada orang yang membantumu atau tak ada satu pun orang terdekatmu yang menampakkan keberadaannya saat itu. Melainkan dalam hidup, kita dituntut untuk mandiri, tidak selamanya bergantung pada orang lain. Bukankah, harap berteman dekat dengan kecewa?

Dalam perjalananku berteman dengan banyak orang, dengan karakter, sifat dan sikap mereka yang beragam. Aku belajar bahwa jangan pernah menempatkan posisi seseorang lebih tinggi dari bagaimana kita di mata mereka, karena kecewa itu sakit, maka aku selamatkan lebih dahulu hatiku. Aku belajar, jangan dengan mudah menaruh hati dan kepercayaan, karena tidak setimpal jika suatu nanti kau ditikam belati oleh kepercayaan itu sendiri.

Oh ya, mengenai kalimatku di awal surat ini, bukan berarti aku tidak memiliki sahabat. Sahabatku jauh, dalam kurun waktu satu tahun, mungkin hanyak sekali dapat berkumpul lengkap, saling lempar hinaan dan gelak tawa. Walau tumbuh di tempat yang berjauhan, tidak berarti bahwa kebersamaan juga berjauhan. Bukankah sesuatu yang menajubkan hanya tibul sesekali waktu? Begitu lah persahabatan.

Aku juga punya mimpi, jika kelak aku juga haruslah bersahabat dengan lelakiku –maka tak ada alasan untuknya atau untukku melangkah pergi membanting pintu–. Berbagi apa saja, menceritakan apa saja, melakukan apa saja. Sebagai sahabat, sebagai abang, sebagai lelakiku. Lalu di sini lah kau sekarang.

Salam,

1 komentar :