Sepertinya, aku terlalu jauh melangkah. Sepertinya, aku terlalu jauh mengikuti cahayamu. Cahaya yang
sedikit menyilaukan. Warnanya terlihat seperti merah muda.
Aku menujumu, tertatih-tatih. Tak sampai terlalu dekat, aku kelelahan. Awalnya aku terlalu ragu
menapak, bahkan sekarang pun aku tetap ragu. Apa sebenarnya yang mengusik
minatku? Sejak kapan kau sudah berada di ambang pintu hatiku? Aku menengadah
memandangmu sekilas, lalu menunduk kian dalam. Hatiku kosong. Seperti terisi,
tetapi tetap kosong. Entahlah.
Aku berada dalam dasar keraguan. Iya, aku ragu. Bukan meragukanmu.
Hanya saja, aku ragu untuk menaruh hati lagi. Ini bukan pertama kalinya aku
merasakan ada yang meletup-letup tertahan di dadaku. Ah, maksudku, aku pernah sekali merasakannya. Entah mengapa
kepadamu begitu berbeda. Aku tahu tak pantas aku menyama-nyamakan atau pun
membeda-bedakan. Aku trauma. Itu lah yang kurasa.
Jangankan menikmati memandangmu berlama-lama, terpikir akanmu
saja aku mencelos. Begitu kuat sela di dinding hatiku mencoba tertutup untuk menahanmu
masuk. Aku bahkan tak berani tersenyum, bukan tersenyum kepadamu. Tapi tersenyum
olehmu. Rasanya aku tak pantas. Alih-alih memiliki nyali, harusnya kesadaran
diriku dari awal untuk tidak menaruh hati padamu, memang harus kulakukan.
Aku selalu di lingkaran ini, lingkaran di mana tak akan kau
ketahui keberadaanku. Sengaja aku menahan diri. Aku mengutuki diri. Mengekangnya.
Pun dengan membohonginya. Lebih baik aku yang menyakitinya. Bodoh ya? Memang! Lebih
bodoh mana dengan mengulangi kebodohan yang hampir sama dengan yang pernah
kulakukan? Menaruh hati pada yang tak mengenalmu dan membiarkannya membusuk.
Aku lelah menjadi pecundang. Lelah amat sangat. Pada akhir
yang sama, aku menyerah. Aku ingin sekali menyerah. Tak ingin aku berlama-lama.
Biarlah hilang merah muda itu. Biarkanlah hanya melesat sesaat. Lalu setelah
ini, biarlah aku menatapmu dalam kekosongan. Hingga hilang benar rasa itu.
Aku bukan tak ingat, aku pertama menemukanmu dipelosok
malam. Harusnya aku sadar kau tak akan beranjak dari situ. Kau semu. Kau hanya
nyata di mimpiku. Dan kau tetaplah kelam.
Dan sekarang, aku buta arah.