Rabu, 21 November 2012

Hari Setelah Ini


Hari ini, hari-hari lalu. Terlewati, dengan jejak-jejak kecil di dalamnya. Hujan kerap kali menyapa, angin dinginnya pun berlomba menyeruak. Kadang, tak sempat aku menghindar. Kadang, mataku harus melalapnya mentah-mentah. Seperti saat aku menulis guratan-guratan ini, gemerciknya tak urung reda semenjak senja. Memaksaku mengingat seluit beberapa bulan lalu. Indah memang, menyesap wangi hujan kala itu. Kian sakit kini yang tersisa, entah rasanya perih saja.

Bahkan telah meninggalkan tanah itu pun, tetap saja dia tak beranjak dari ingatan. Padahal parasnya tersisa samar-samar. Tak khayal kadang aku lupa seberapa tampan dia. Bagaimana merusak patrian namanya ini ya Tuhan? Nama yang sederhana, dan dengan sederhana pula dia menyelinap masuk hingga terpahat.

Sebelum dia, sekeji apa aku menyakiti hati yang tak pernah ku pinta? Untuk membuat seulas senyum saja sekarang begitu sulit. Padahal dulu tak terhitung perharinya. Dia membukakan mataku atau malah membutakan hatiku?

Mungkin karma dari yang sudah lewat. Saat aku menemukan satu, layakkah aku terpenjara? Berapa kali aku menegur hati untuk berhenti. Berhentilah, dia terlalu tinggi! dan harus berkeras hati seperti ini kah aku? Padahal semenjak awal sudah menyadari.

Coba waktu itu aku langsung beranjak, lepas sedetik saja. Tapi, aku tak menyesali apa pun, karena nya aku mempelajari banyak hal.

Namun hari ini, atau hari setelah ini. Sesungguhnya masikah rasaku tetap sama? Apa aku kuat bertahan dengan kebodohan ciptaanku sendiri? Semestinya, iya! Sebelum malam lalu ada sosok yang menyelinap ke mimpiku. Menjadi bunga tidur walau tak banyak, karena malamku begitu panjang. Yang benar saja, aku tahu tapi tak kenal. Apa karena kerap aku memandanginya? Ayolah, hanya beberapa kali. Kurasa bukan, dan harusnya bukan! Teranglah tercipta keanehan padaku sepanjang hari ini, semoga tak ada yang memperhatikan.

Aku masih mempertanyakan banyak hal, kali saja sang pemberi mimpi salah menempatkan. Bukankah begitu banyak bunga-bunga mimpi yang harus ia tebar disetiap malamnya? Mungkin ia salah, mungkin saja kan? Ah, semoga ini bukan pikiran konyol.

Sungguh, aku belum ingin terjatuh lagi. Bagaimana jika layaknya pada dia? Haruskah aku mengulangi kebodohan lagi? Terjatuh dan tanpa balasan itu menyiksa, lalu terbutakan. Berdiam hanya memandang. Mencari, tertawa, berlari sendiri. Sendu, pada akhirnya tersayat sendiri. Lebih ke menyayat diri malah, jujur saja. Dan sekali lagi, aku tidak kenal!

Ah, semoga aku salah.. Mana mungkin mimpi yang memberikan harapan? Lagi pula semenjak pergi, aku tak pernah mendapati jantungku bekerja diatas batas kewajaran seperti dulu. Terlalu dini, benar saja, bagaimana bisa aku jatuh disaat aku sudah terjatuh dari lama? Untuk bangkit dan melangkah lagi saja sulit.

Semoga bukan kamu ya yang menggati patrian namanya di hatiku. Hanya tak ingin hari-hari berikutnya aku malah tersesat di tempat lain

Rabu, 12 September 2012

Rasa Ini -Short Story-



-----
“yeeaaahh, aku berhasil lagi” ucapku sumbringah tetapi pelan
“kau memang hebat dalam hal seperti ini”
Kau dengar itu? Jika kau tanya siapa dia? Ray… yah Ray sahabatku, dialah yang berucap
Kami tengah sibuk memandang dari balik semak dua sejouly yang saling berucap kata cinta.hahaa
Kau tahu? Hari ini aku kembali berhasil menyatukan dua hati umat manusia *ngekk
Seperti yang Ray kata, aku memang mahir bergemelut dalam hal seperti ini
Tapi jika kau tanya bagaimana dengan diriku sendiri? Entahlah, lupakan.
-----
“Ray kau tahu? Sepertinya ada yang sedang berbunga hari ini? Bersejarahkah itu? Apa imbalanku? Haruskah dia mengucapkan sepatah kata untukku?”
Pertanyaanku sedetik tadi sukses membuat merah merona wajah seorang perempuan yang baru saja menghampiri kami, sedangkan Ray hanya dapat menahan tawanya. Aku? Aku setia menunggu kata itu terucap
“baiklah, baiklah. Terimakasih, kau sangat membantu”
Akhirnya kata yang ku tunggu terucap juga :D, aku dan Ray tertawa tak henti, bahkan Ray bisa terpingkal apabila memandang dia yang tersipu malu bak kucing Persia yang merona itu (?)
“hei Taa, bagaimana perasaanmu?” Ray mencoba bertanya disela tawanya
“dunia terasa milik berdua” tambahku mengibaratkan
Wajahnya yang putih itu kembali menjadi merah tersipu
“hahahaa, sudahlah Vee.. kasian dia, lihatlah wajahnya memerah seperti kepiting asap yang suka dimasak bunda ku saja” bicara apa Ray itu, makanan saja dipikirannya :P
“ah sudahlah kalian ini tak hentinya meledekku”
Kau tahu siapa dia? Berta, ya Tata begitulah kami memanggilnya, dia salah satu sahabatku setelah Ray
-----
 “Vee, Ray… aku duluan ya, Rio sudah jemput” pamit Tata malu-malu menyebutkan nama Rio
Seperti yang bisa kalian tebak, kekasih barunya haha
“aduh, aduh… bahagianya jadi dirimu Taa” Ray menggeleng menahan tawa
“hahaa, sudahlah Ray. Biarkan dia pulang bersama kekasih tercintanya itu, kita berlalu saja” tuturku yang sebenarnya mengiyakan perkataan Ray tadi
-----
Harihari berlalu, Tata terlihat begitu menikmati kebahagiaan didetikdetiknya bersama Rio. Mereka begitu sering menghabiskan waktu bersama, tapi aku jadi tidak terlalu menyukai hal itu, waktunya bersama aku dan Ray hanya untuk disekolah saja, menyebalkan.
-----
“yuk pulang”
Aku dan Ray tersontak kaget mendengar tuturan itu
“kau tak dijemputkah hari ini?” aku bertanya heran
“tidak” Tata berucap singkat disela senyum tipisnya
Aku dan Ray berpandangan mengerutkan dahi menatapnya bingung
“ayolah, aku ingin pulang bersama kalian hari ini. Tak maukah kalian pulang bersamaku?” rengeknya manja yang langsung menarik tanganku dan Ray pergi meninggalkan kelas

Sesampai digerbang terhenti dihadapan kami sebuah mobil jazz merah berplat, tunggu… sepertinya bukan plat kotaku? entahlah
Sesosok perempuan cantik dengan rambut dibando tergerai panjang,yang saat itu memakai overall biru maskulin kotakkotak hitam  yang dipadu dengan rompi bulu keluar dari mobil itu dengan anggunnya
Aku tak habis pikir, dia mendekap Ray. Aku tersontak kaget, jantungku berdegup kencang, seketika raut wajahku berubah sedih. Aku merabah dadaku memastikan jantungku masih berada ditempatnya, takuttakut deru dentuman jantung bak drum mengalun lagu rock sedetik tadi membuatku mati berdiri kan tak ada lucunya -,-
“Ray, kaukah ini?” perempuan itu merabah pipi Ray yang chubby itu
Seketika itu pun hatiku semakin ciut, aku tertunduk air mataku mengembang menahan tangis
“hei ayo masuk, kita pulang” perempuan itu menarik Ray masuk kedalam mobilnya
Sedangkan aku? Jangan kau tanya, aku tak sanggup menatap laju mobil itu
“ayolah Vee, beranjak dari sini” Tata menggandeng tanganku yg kulai ini
-----
Sesampai dirumah aku langsung memasuki kamar dan merebahkan tubuhku ke kasur, tak perduli dengan ka Cakka yang menegurku marah karna pulang tanpa salam, atau bunda yang heran sekaligus khawatir akan aku yang sekegukan menangis
Pikiranku melayang entah kemana… siapa perempuan itu? Mengapa dia terlihat begitu mengenal Ray? Ada hubungan apa mereka? Entahlah, tak kutemui jawabannya, ku harap tak ada jalinan kasih atau hubungan spesial diantara mereka. Semoga saja… Ah, Ray. Janganlah kau hancurkan hatiku ini
‘Vee, ayolah. Ray hanya sahabatmu. Apa yang kau harapkan? Sudahlah, kau pun baru mengenalnya 2tahun belakangan ini bukan?apa yang akan kau lakukan apabila dia dan perempuan itu memang mempunyai jalinan yang kau sebut hubungan spesial seperti yang kau takutkan itu hah? Tak senangkah kau melihat sahabatmu bahagia?’ kurasakan sisi lain jiwaku berbisik
Tapi bagaimana dengan hatiku? Tak gampang bagiku mengikhlaskan perasaan yang  telah kupupuk indah selama 2tahun berada disampingnya :’( salahkah aku? Tak izinkankah Tuhan aku mencintainya?
Sudahlah, air mataku mulai mereda. Aku akan beranjak ketaman belakang, setelah mengambil kanvas, kuas, pallet, cat dan peralatan lukisku yang lain. Melukis, jika kau tanya, itu lah hidupku. Akan ku curahkan perasaanku pada kanvas putih itu
Kau lihat aku melukis apa?
Seorang perempuan berambut keriting panjang sedikit dibawah bahu sedang bersenandung ria di atas perahu kecil dipinggir danau, salah seorang perempuan lagi sedang berkutat fokus pada kanvas dan kuasnya dan tak jauh dari sana terdapat seorang bocah laki-laki gondrong duduk ditepi danau yang asik memainkan dan memutar stick drum kesayangannya
Yah itu kami, Tata, aku dan Ray
Sudah kurasa lama kami tidak bermain kedanau itu lagi, aku sangat suka tempat itu, dengan bebas bisa kucurahkan segala inspirasi ku ke kanvas, damai dalam menjiwai lukisanku
Tapi berbeda buruk dengan keadaan ku saat ini, tibatiba saja bulir hangat kembali mengalir saat memandang lukisan yang baru saja ku selesaikan tadi
Aku takut mereka melupakanku, aku takut kehilangan mereka. Sudah cukup terpuruk rasaku ditinggal pergi sahabat kecil. Kau akan bertemu dengannya nanti. Kau tahu? Dengan adanya Tata yang setia disampingku dan datangnya Ray 2tahun lalu menggantikan sahabat kecilku, membuatku memiliki arti dalam rasa. Tapi jannganlah Kau jauhkan mereka dariku ya Tuhan. Pintaku berharap pada Kuasa
Lupakanlah, aku akan kembali kekamar, kurasa aku akan terlelap
-----
Kau tahu? Harihari berlalu kurasakan hampa, ketakutan itu mulai berwujud. Langit, apa ini? Tak sampaikah do’a ku pada Tuhan, apa Dia tak mendengar? Terlalu sibukkah Dia hingga pintaku tak ada harap?
“Vee, Ray… aku duluan yah” pamit Tata setiap bel tanda pulang berdentang
“Vee, aku pulang” kata itupun terucap tanpa Ray sadari bahwa tinggal bayangan kini temanku
Apa ini? Aku tak kuasa menahan tangis, dengan segenap kekuatan yang disisakan Tuhan, aku menjalani hidupku yang sekarang, suram
-----
Malam tiba, besok akhir pekan ku coba untuk terlelap. Tak ingin menghadapi hari esok, aku yakin tiada kebahagian lagi. Kami biasa berkumpul tiap akhir pekan. entah itu dimana dan untuk apa, setidaknya kami selalu bersama, tapi sekarang tiada kurasakan lagi kebersamaan. Coba kau bayangkan, Tata selalu membawa kekasihnya itu, dan Ray juga pasti mengajak perempuan itu ikut bersama kami. Jika kau tanya namanya, jangan tanya aku. Coba kau tanyakan saja sendiri. Tak sanggup harus ku tanyakan tentang perempuan itu pada Ray… oh lupakanlah, bisabisa aku gila memikirkan semuanya
Baru saja ku pejamkan mata, tibatiba ponselku berbunyi pertanda satu panggilan masuk. Kau tahu dari siapa? Tata menelponku. Ah, aku sudah bosan pasti dia akan bercerita tentang kekasihnya itu, ampun. dengan malas aku mengangkat telpon darinya
“apa Ta?” tanpa salam dariku
“hei kau sudah terpejam?” kurasa dia merasakan keanehan
“hampir saja. Kau tahu kau mengganggu?”
“hei ayolah kenapa kau ini? Tak pernah kudapati kau yang sekarang” celotehnya dari seberang telpon
“cepatlah apa mau mu?”
“apa apaan kau ini, tenanglah dengarkan aku bercerita,……………….” Dan dia pun mulai mendongeng membuatku semakin ingin terpejam saja
“hei Vee, kau masih disana? Kau dengar aku?” tanyanya memastikan
“yah, kau senang aku pun begitu” tuturku singkat menanggapi
“mmm satu hal lagi, besok ku tunggu dirumah”
“oh baiklah”   “Taa…” ucapku lirih
“apa?”
“mmm kau tahu siapa perempuan yang sering bersama Ray itu?” aku memberanikan bertanya
“hei mengapa kau tibatiba menanyakan dia?” sisi perempuannya mulai keluar, aku tak suka ini
“ah sudahlah, lupakan”
“hehee, Ray bilang namanya Acha”
“nama yg lucu… kau tahu mereka ada hubungan apa?”
“kau cemburu? Kurasa. Benarkah?” aku tak suka pertanyaannya, sungguh
“kau belum menjawab pertanyaanku”
“hmmm entahlah. Ray tak  mau bercerita, mengapa tak kau tanyakan saja pada Ray?”
“sudahlah, sudah larut aku ingin terpejam”
“aku tak mengerti kau yang sekarang” dia mendesah kesal. Telponpun berakhir
Setelah menelponku sepertinya Tata akan menelpon Ray, hei aku merindu suara itu :’(
-----
“iya Taa?”
“ku tunggu besok dirumah, ok?”
“ok baiklah” jawab Ray lemas dari seberang telpon Tata
“kau sudah terpejam?”
“hampir saja”
“ah kau ini sama saja seperti Veve. Eh Ray kurasa rencana kita berhasil. Tega sekali kau padanya”
“heh? Sungguhkah?” suara Ray terdengar sumbringah
“kau tak merasakannya? Ah payah  sekali kau ini”
“hahahaa, baguslah! Aku suka itu”
“sampai kapan? Jangan sampai kau buat dia gantung diri. Kau telah buat aku membohonginya”
“secepatnya, hahaa maafkan aku” Ray terdengar senang
“dasar kau ini, sudah! Kembalilah terpejam”
-----
Aku sudah sampai didepan rumah Tata. Enggan sekali rasanya aku masuk, akhirnya kuputuskan untuk memencet bell rumah itu
“iya sebentar” Tata membuka pintu dan menyuruhku masuk
Dan kau tahu? Dugaanku tak salah lagi
“kurasa kau selalu ada?” tanyaku sinis pada Rio yang sedari tadi sudah berada dirumah Tata
“hei tak bolehkah?” dia berbalik bertanya tanpa beban
“oh, lupakan”          “mana Ray?” kali ini aku bertanya pada Tata
“bersabarlah, kau seperti tak tahu dia saja”
Aku duduk disofa rumah itu lalu mengeluarkan bermacam pensil, alat gambar dan setumpuk kertas gambar dari ranselku, beberapa diantaranya sudah penuh dengan ukiran garis dari pensilku
“kenapa dia?” Rio berbisik pada Tata
“entahlah. kurasa dia stress” Tata menjawab
“bicara apa kalian?” aku berucap sembari mulai menuangkan inspirasiku
“tidak”

Selang beberapa menit kemudian Ray datang bersama perempuan itu -,-
“kau mengajaknya?” tanyaku tanpa berpaling kea rah Ray dan perempuan itu, siapa namanya? Acha. Ya Acha, aku ingat
“lantas?” Ray balik bertanya dengan nada yang tak enak ku dengar. Dia sepertinya tak menginginkan aku berkata seperti itu. Ah, dia tak pernah seperti ini sebelumnya
“lupakanlah, aku hanya bertanya”
“sepertinya dia benarbenar stress” Rio kembali berbisik pada Tata
“kurasa ada yang tidak senang, sebaiknya aku pulang saja” Acha berucap dengan intonasi yang dalam
“sudahlah, kau disini saja” Ray mencegahnya, sepertinya Ray perhatian sekali pada Acha
“tidak Ray, untuk apa aku disini jika ada yang risih dengan keberadaanku” sepertinya Acha melirikku
“maafkan jika perkataanku menyinggungmu. Aku hanya bertanya, tak lebih” tambahku seraya masih asik berkutat dengan pensil dan kertas gambarku
“ah sudahlah, aku akan beranjak” Acha berlalu
“tunggu, biar ku antar” Ray pun berlalu mengikutinya

“kenapa kau ini?” Tata bertanya padaku
“entahlah” jawabku lirih
“sukses, tega sekali kau Ray, hahhaa” gumamnya berbisik
Tata dan Rio asik menceritakan jalinan kisah asmara *ngekk mereka
Aku pun hampir menyelesaikan gambar sketh pensilku
Tak lama darinya Ray kembali. Wajahnya sangat suntuk melihatku, aku merasakannya tanpa harus berpaling
“apa apaan kau ini?” Ray bertutur dengan intonasi tinggi di sela nafasnya yang pendek-pendek
Aku hanya mengangkat bahu tanpa berpaling menatapnya
dia menghela nafas, mungkin dia malas melihat tingkahku yang entah aku sendiri tak mengerti kenapa dengan diriku “kau menggambar apa?”
Aku berpaling menatapnya, terlihat jelas sekali dari pemancar itu kalau dia masih kesal dengan tingkahku tadi
“ini… kurasa.. aku merindukannya” aku memperlihatkan gambar skethku padanya
“siapa ini?” dia mengambil gambarku
“hahahaa itu tambatan hatinya Ray” Tata bertutur seraya menahan tawa, sungguh dia kenapa? aku tak suka itu
“bicara apa kau? Dia sahabat kecilku, sebaiknya kau jaga mulutmu itu” ucapku geram
“siapa namanya?” tanya Ray lagi
“Deva” tambah Tata singkat
bisa kau kembalikan? aku akan menyelesaikannya” pintaku
“tidak” Ray berkata geram
Dan kau tahu? Dia merobek gambarku
“mee..mengapa kau merobeknya?” tanyaku lirih
“aku tak suka” dia menatapku tajam
“kau kenapa? Tak pernah kudapati kau seperti ini. Kenapa tak sekalian saja kau bakar semua gambarku itu” aku menunjuk setumpuk kertas gambar yang kuletakkan diatas meja tadi
Ray hanya terdiam, tapi matanya masih menunjukkan amarah. Sebenarnya dia kenapa? Aku tak paham dengan situasi ini
“maafkan atas tingkah dan perkataanku tadi, aku tahu kau kesal. Tapi kurasa kau tak perlu merobek itu, aku menggambar tanpa melihat objek, itu bukan hal yang mudah Ray”
Ray masih diam, lama kami dalam keheningan. Hingga akhirnya kutemui ponselku berbunyi pertanda panggilan masuk, kulihat nomor tak dikenal. Siapa ini? Mengganggu saja
“iya hallo” sapaku
“hei Vee, bagaimana keadaanmu?” terdengar suara laki-laki sebayaku diujung telpon, bahkan penelpon itu tak menjawab sapaanku tadi
“entahlah, kurasa sedetik tadi baik-baik saja sebelum…lupakan, siapa kau?” jelas dan tanyaku
“kau tak ingat aku?” dia berbalik bertanya
“kurasa” jawabku sinis
“kau benarbenar tak ingat padaku?” suaranya terdengar lirih
“kurasa aku melupakanmu” jelasku dingin
“oh, lupakan. Dimana Veve kecilku yang.. dulu hfftt” dia bertutur lirih jelas sekali terdengar
“tunggu, sepertinya aku tahu kau siapa… Deva kau kah ini? Hei, aku merindukanmu” suaraku mulai terdengar sumbringah
“kau mengingatku? Syukurlah! Ku kira kau benar lupa padaku”
kau kemana saja? Lama sekali kau menghilang. Tak merindukah kau padaku? kurasa kaulah yang melupakanku. Tega sekali kau ini” suaraku ku buat terdengar kecewa
“aku merindukanmu, hahahaa itu sudah pasti”
“hei kau tahu? Tadi aku menggambar sketh dirimu Dev, tapi tak sempat ku selesaikan sudah ada yang merobeknya” aku menatap dingin kearah Ray, yang dibalas tatapan tajam dari matanya
“hei kau masih saja menggeluti dunia seni itu?”
“tentu saja, kau lupa? Itu duniaku” aku mulai kembali fokus ketelpon, tapi apa yang terjadi?
“berikan padaku!” Ray merebut paksa ponsel yang ku genggam itu dan mematikan telponnya
“apa maumu Ray? Apa kau sudah gila? Kau terlihat seperti monster hari ini” aku berucap kasar dengan amarah yang membucah
Ray kembali terdiam, apa maksudnya ini?
“sudahlah, aku akan beranjak” suaraku melemah, ku putuskan untuk berlalu
“Ray kejar dia” perintah Tata
Aku sudah sampai dimuka pintu, belum sempat aku melangkah keluar, Ray mencegatku
“kau mau kemana?”
“kau tak lihat? Aku akan pulang” aku tak berpaling dan akan kembali melangkah. Tapi dia mencengkram pergelangan tanganku
“tidak, kembalilah”
“untuk apa? Lepaskanlah” pintaku
“tak akan” ucapnya mantap
“apa maumu Ray?” aku menghela nafas  Kenapa kau ini? Kau tak pernah seperti ini sebelumnya”aku masih tetap tak memutuskan untuk berpaling
“berpalinglah” pintanya
“tidak, lepaskan. Aku ingin pulang”
“kumohon”
“untuk apa? Aku tak mengerti apa maumu” aku masih tetap pada posisiku
“ayolah Vee”
“katakan apa maumu? Tak cukup puaskah kau membentakku tadi? Tak cukup puaskah kau marah padaku hari ini? Apa lagi maumu? Gambarku telah kau robek, telpon itu pun telah kau tutup. Katakan padaku, kau mau apa lagi? Tak cukup puaskah kau... menyakitiku Ray?” suaraku sudah serak, bulir manik bening dari kedua bola mataku pun mulai berjatuhan
“jangan menangis” ucapnya lembut
“aku tak bisa, apa yang membuatmu berubah?” suaraku bergetar
Dia bungkam, semenit kemudian aku putuskan untuk kembali membuka suara
“lepaskanlah, aku ingin beranjak dari tempat ini” pintaku sekali lagi
“Vee” panggilnya
“mau apa lagi kau?” pita suaraku meninggi
“aku mencintaimu” terdengar dia bertutur tulus, tapi ini tak mungkin
“sudahlah, aku tak ingin bercanda. Lepaskan” sudah berapa kali aku memintanya melepaskan genggamannya, tapi dia bersikeras menahanku
“sungguh, aku serius. Aku mencintaimu”
“untuk apa kau katakana itu? Cukup aku saja yang terluka. Jangan kau buat perempuan itu merasakannya juga” sakit aku mengatakan itu, seraya bulirbulir hangat itu senantiasa mengalir
“siapa yang kau maksud? Acha?  Vee, dia hanya sepupu ku”
Sungguh kah? Apa maksudnya ini semua? Kenapa Tata tak berkata padaku kalau Acha hanya sepupu Ray, aku rasa dia mengetahui hal itu. Apa dia membohongiku? Kurasa selama ini sedikit kecilnya dia tahu perasaanku. Ya Tuhan aku tak tahu harus berkata apa lagi
“lepaskan. Aku ingin beranjak”
“berpalinglah Vee, kumohon” suaranya melemah, aku tak kuasa mendengarnya
“lepaskan. Berapa kali harus kata itu terucap?”
“tak akan, ayolah jangan seperti ini”
“cepatlah, apa maumu? Aku ingin pulang”
“katakan. katakan kalau kau juga mencintaiku”
Ah? Kata itu? Tidak, aku tidak mengerti akan hal ini, tak mungkin sanggup aku mengatakannya. Terlalu sakit kau tahu?
“lepaskan. Harus berapa kali kukatakan itu padamu” bentakku
“tak akan! Sebelum kau katakan kalau kau juga mencintaiku!” ucapnya dengan suara lantang. Aku bergidik itu terdengar seperti bentakan
“baiklah” aku berpaling dan menatapnya tajam
“aku mencintaimu” tuturnya lembut. Aku menyesap nafas panjang sembari mengumpulkan keberanian untuk berucap lagi
“aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu... Sedari dulu Ray, tanpa harus kau sadari itu” sedetik itu juga aku langsung tertunduk, tak sanggup lagi menatap pemancar dari maniknya
Aku tidak lihat, mungkin dia tersenyum. Kurasa? Entahlah.. Dia mendekapku, kurasakan benar ketulusan “maafkan aku” bisiknya
-----



Bandar Lampung,
September, 2010