Rabu, 21 November 2012
Hari Setelah Ini
Hari ini, hari-hari lalu. Terlewati, dengan jejak-jejak kecil di dalamnya. Hujan kerap kali menyapa, angin dinginnya pun berlomba menyeruak. Kadang, tak sempat aku menghindar. Kadang, mataku harus melalapnya mentah-mentah. Seperti saat aku menulis guratan-guratan ini, gemerciknya tak urung reda semenjak senja. Memaksaku mengingat seluit beberapa bulan lalu. Indah memang, menyesap wangi hujan kala itu. Kian sakit kini yang tersisa, entah rasanya perih saja.
Bahkan telah meninggalkan tanah itu pun, tetap saja dia tak beranjak dari ingatan. Padahal parasnya tersisa samar-samar. Tak khayal kadang aku lupa seberapa tampan dia. Bagaimana merusak patrian namanya ini ya Tuhan? Nama yang sederhana, dan dengan sederhana pula dia menyelinap masuk hingga terpahat.
Sebelum dia, sekeji apa aku menyakiti hati yang tak pernah ku pinta? Untuk membuat seulas senyum saja sekarang begitu sulit. Padahal dulu tak terhitung perharinya. Dia membukakan mataku atau malah membutakan hatiku?
Mungkin karma dari yang sudah lewat. Saat aku menemukan satu, layakkah aku terpenjara? Berapa kali aku menegur hati untuk berhenti. Berhentilah, dia terlalu tinggi! dan harus berkeras hati seperti ini kah aku? Padahal semenjak awal sudah menyadari.
Coba waktu itu aku langsung beranjak, lepas sedetik saja. Tapi, aku tak menyesali apa pun, karena nya aku mempelajari banyak hal.
Namun hari ini, atau hari setelah ini. Sesungguhnya masikah rasaku tetap sama? Apa aku kuat bertahan dengan kebodohan ciptaanku sendiri? Semestinya, iya! Sebelum malam lalu ada sosok yang menyelinap ke mimpiku. Menjadi bunga tidur walau tak banyak, karena malamku begitu panjang. Yang benar saja, aku tahu tapi tak kenal. Apa karena kerap aku memandanginya? Ayolah, hanya beberapa kali. Kurasa bukan, dan harusnya bukan! Teranglah tercipta keanehan padaku sepanjang hari ini, semoga tak ada yang memperhatikan.
Aku masih mempertanyakan banyak hal, kali saja sang pemberi mimpi salah menempatkan. Bukankah begitu banyak bunga-bunga mimpi yang harus ia tebar disetiap malamnya? Mungkin ia salah, mungkin saja kan? Ah, semoga ini bukan pikiran konyol.
Sungguh, aku belum ingin terjatuh lagi. Bagaimana jika layaknya pada dia? Haruskah aku mengulangi kebodohan lagi? Terjatuh dan tanpa balasan itu menyiksa, lalu terbutakan. Berdiam hanya memandang. Mencari, tertawa, berlari sendiri. Sendu, pada akhirnya tersayat sendiri. Lebih ke menyayat diri malah, jujur saja. Dan sekali lagi, aku tidak kenal!
Ah, semoga aku salah.. Mana mungkin mimpi yang memberikan harapan? Lagi pula semenjak pergi, aku tak pernah mendapati jantungku bekerja diatas batas kewajaran seperti dulu. Terlalu dini, benar saja, bagaimana bisa aku jatuh disaat aku sudah terjatuh dari lama? Untuk bangkit dan melangkah lagi saja sulit.
Semoga bukan kamu ya yang menggati patrian namanya di hatiku. Hanya tak ingin hari-hari berikutnya aku malah tersesat di tempat lain
Rabu, 19 September 2012
Rabu, 12 September 2012
Rasa Ini -Short Story-
-----
“yeeaaahh, aku berhasil lagi” ucapku sumbringah tetapi pelan
“kau memang hebat dalam hal seperti ini”
Kau dengar itu? Jika kau tanya siapa dia? Ray… yah Ray
sahabatku, dialah yang berucap
Kami tengah sibuk memandang dari balik semak dua sejouly
yang saling berucap kata cinta.hahaa
Kau tahu? Hari ini aku kembali berhasil menyatukan dua hati
umat manusia *ngekk
Seperti yang Ray kata, aku memang mahir bergemelut dalam hal
seperti ini
Tapi jika kau tanya bagaimana dengan diriku sendiri?
Entahlah, lupakan.
-----
“Ray kau tahu? Sepertinya ada yang sedang berbunga hari ini?
Bersejarahkah itu? Apa imbalanku? Haruskah dia mengucapkan sepatah kata
untukku?”
Pertanyaanku sedetik tadi sukses membuat merah merona wajah
seorang perempuan yang baru saja menghampiri kami, sedangkan Ray hanya dapat
menahan tawanya. Aku? Aku setia menunggu kata itu terucap
“baiklah, baiklah. Terimakasih, kau sangat membantu”
Akhirnya kata yang ku tunggu terucap juga :D, aku dan Ray
tertawa tak henti, bahkan Ray bisa terpingkal apabila memandang dia yang
tersipu malu bak kucing Persia yang merona itu (?)
“hei Taa, bagaimana perasaanmu?” Ray mencoba bertanya disela
tawanya
“dunia terasa milik berdua” tambahku mengibaratkan
Wajahnya yang putih itu kembali menjadi merah tersipu
“hahahaa, sudahlah Vee.. kasian dia, lihatlah wajahnya
memerah seperti kepiting asap yang suka dimasak bunda ku saja” bicara apa Ray
itu, makanan saja dipikirannya :P
“ah sudahlah kalian ini tak hentinya meledekku”
Kau tahu siapa dia? Berta, ya Tata begitulah kami
memanggilnya, dia salah satu
sahabatku setelah Ray
-----
“Vee, Ray… aku duluan
ya, Rio sudah jemput” pamit Tata malu-malu menyebutkan nama Rio
Seperti yang bisa kalian tebak, kekasih barunya haha
“aduh, aduh… bahagianya jadi dirimu Taa” Ray menggeleng
menahan tawa
“hahaa, sudahlah Ray. Biarkan dia pulang bersama kekasih
tercintanya itu, kita berlalu saja” tuturku yang sebenarnya mengiyakan
perkataan Ray tadi
-----
Harihari berlalu, Tata terlihat begitu menikmati kebahagiaan
didetikdetiknya bersama Rio. Mereka begitu sering menghabiskan waktu bersama,
tapi aku jadi tidak terlalu menyukai hal itu, waktunya bersama aku dan Ray
hanya untuk disekolah saja, menyebalkan.
-----
“yuk pulang”
Aku dan Ray tersontak kaget mendengar tuturan itu
“kau tak dijemputkah hari ini?” aku bertanya heran
“tidak” Tata berucap singkat disela senyum tipisnya
Aku dan Ray berpandangan mengerutkan dahi menatapnya bingung
“ayolah, aku ingin pulang bersama kalian hari ini. Tak
maukah kalian pulang bersamaku?” rengeknya manja yang langsung menarik tanganku
dan Ray pergi meninggalkan kelas
Sesampai digerbang terhenti dihadapan kami sebuah mobil jazz
merah berplat, tunggu… sepertinya bukan plat kotaku? entahlah
Sesosok perempuan cantik dengan rambut dibando tergerai
panjang,yang saat itu memakai overall biru maskulin kotakkotak hitam yang dipadu dengan rompi bulu keluar dari
mobil itu dengan anggunnya
Aku tak habis pikir, dia mendekap Ray. Aku tersontak kaget,
jantungku berdegup kencang, seketika raut wajahku berubah sedih. Aku merabah
dadaku memastikan jantungku masih berada ditempatnya, takuttakut deru dentuman
jantung bak drum mengalun lagu rock sedetik tadi membuatku mati berdiri kan tak
ada lucunya -,-
“Ray, kaukah ini?” perempuan itu merabah pipi Ray yang
chubby itu
Seketika itu pun hatiku semakin ciut, aku tertunduk air
mataku mengembang menahan tangis
“hei ayo masuk, kita pulang” perempuan itu menarik Ray masuk
kedalam mobilnya
Sedangkan aku? Jangan kau tanya, aku tak sanggup menatap
laju mobil itu
“ayolah Vee, beranjak dari sini” Tata menggandeng tanganku
yg kulai ini
-----
Sesampai dirumah aku langsung memasuki kamar dan merebahkan tubuhku
ke kasur, tak perduli dengan ka Cakka yang menegurku marah karna pulang tanpa
salam, atau bunda yang heran sekaligus khawatir akan aku yang sekegukan
menangis
Pikiranku melayang entah kemana… siapa perempuan itu?
Mengapa dia terlihat begitu mengenal Ray? Ada hubungan apa mereka? Entahlah,
tak kutemui jawabannya, ku harap tak ada jalinan kasih atau hubungan spesial
diantara mereka. Semoga saja… Ah, Ray. Janganlah kau hancurkan hatiku ini
‘Vee, ayolah. Ray hanya sahabatmu. Apa yang kau harapkan?
Sudahlah, kau pun baru mengenalnya 2tahun belakangan ini bukan?apa yang akan
kau lakukan apabila dia dan perempuan itu memang mempunyai jalinan yang kau
sebut hubungan spesial seperti yang kau takutkan itu hah? Tak senangkah kau
melihat sahabatmu bahagia?’ kurasakan sisi lain jiwaku berbisik
Tapi bagaimana dengan hatiku? Tak gampang bagiku
mengikhlaskan perasaan yang telah
kupupuk indah selama 2tahun berada disampingnya :’( salahkah aku? Tak
izinkankah Tuhan aku mencintainya?
Sudahlah, air mataku mulai mereda. Aku akan beranjak ketaman
belakang, setelah mengambil kanvas, kuas, pallet, cat dan peralatan lukisku
yang lain. Melukis, jika kau tanya, itu lah hidupku. Akan ku curahkan
perasaanku pada kanvas putih itu
Kau lihat aku melukis apa?
Seorang perempuan berambut keriting panjang sedikit dibawah
bahu sedang bersenandung ria di atas perahu kecil dipinggir danau, salah
seorang perempuan lagi sedang berkutat fokus pada kanvas dan kuasnya dan tak
jauh dari sana terdapat seorang bocah laki-laki gondrong duduk ditepi danau
yang asik memainkan dan memutar stick drum kesayangannya
Yah itu kami, Tata, aku dan Ray
Sudah kurasa lama kami tidak bermain kedanau itu lagi, aku
sangat suka tempat itu, dengan bebas bisa kucurahkan segala inspirasi ku ke
kanvas, damai dalam menjiwai lukisanku
Tapi berbeda buruk dengan keadaan ku saat ini, tibatiba saja
bulir hangat kembali mengalir saat memandang lukisan yang baru saja ku
selesaikan tadi
Aku takut mereka melupakanku, aku takut kehilangan mereka.
Sudah cukup terpuruk rasaku ditinggal pergi sahabat kecil. Kau akan bertemu
dengannya nanti. Kau tahu? Dengan adanya Tata yang setia disampingku dan
datangnya Ray 2tahun lalu menggantikan sahabat kecilku, membuatku memiliki arti
dalam rasa. Tapi jannganlah Kau jauhkan mereka dariku ya Tuhan. Pintaku
berharap pada Kuasa
Lupakanlah, aku akan kembali kekamar, kurasa aku akan
terlelap
-----
Kau tahu? Harihari berlalu kurasakan hampa, ketakutan itu
mulai berwujud. Langit, apa ini? Tak sampaikah do’a ku pada Tuhan, apa Dia tak
mendengar? Terlalu sibukkah Dia hingga pintaku tak ada harap?
“Vee, Ray… aku duluan yah” pamit Tata setiap bel tanda
pulang berdentang
“Vee, aku pulang” kata itupun terucap tanpa Ray sadari bahwa
tinggal bayangan kini temanku
Apa ini? Aku tak kuasa menahan tangis, dengan segenap
kekuatan yang disisakan Tuhan, aku menjalani hidupku yang sekarang, suram
-----
Malam tiba, besok akhir pekan ku coba untuk terlelap. Tak
ingin menghadapi hari esok, aku yakin tiada kebahagian lagi. Kami biasa
berkumpul tiap akhir pekan. entah itu dimana dan untuk apa, setidaknya kami
selalu bersama, tapi sekarang tiada kurasakan lagi kebersamaan. Coba kau bayangkan,
Tata selalu membawa kekasihnya itu, dan Ray juga pasti mengajak perempuan itu
ikut bersama kami. Jika kau tanya namanya, jangan tanya aku. Coba kau tanyakan
saja sendiri. Tak sanggup harus ku tanyakan tentang perempuan itu pada Ray… oh
lupakanlah, bisabisa aku gila memikirkan semuanya
Baru saja ku pejamkan mata, tibatiba ponselku berbunyi
pertanda satu panggilan masuk. Kau tahu dari siapa? Tata menelponku. Ah, aku
sudah bosan pasti dia akan bercerita tentang kekasihnya itu, ampun. dengan
malas aku mengangkat telpon darinya
“apa Ta?” tanpa salam dariku
“hei kau sudah terpejam?” kurasa dia merasakan keanehan
“hampir saja. Kau tahu kau mengganggu?”
“hei ayolah kenapa kau ini? Tak pernah kudapati kau yang
sekarang” celotehnya dari seberang telpon
“cepatlah apa mau mu?”
“apa apaan kau ini, tenanglah dengarkan aku
bercerita,……………….” Dan dia pun mulai mendongeng membuatku semakin ingin
terpejam saja
“hei Vee, kau masih disana? Kau dengar aku?” tanyanya
memastikan
“yah, kau senang aku pun begitu” tuturku singkat menanggapi
“mmm satu hal lagi, besok ku tunggu dirumah”
“oh baiklah” “Taa…”
ucapku lirih
“apa?”
“mmm kau tahu siapa perempuan yang sering bersama Ray itu?” aku
memberanikan bertanya
“hei mengapa kau tibatiba menanyakan dia?” sisi perempuannya
mulai keluar, aku tak suka ini
“ah sudahlah, lupakan”
“hehee, Ray bilang namanya Acha”
“nama yg lucu… kau tahu mereka ada hubungan apa?”
“kau cemburu? Kurasa. Benarkah?” aku tak suka pertanyaannya,
sungguh
“kau belum menjawab pertanyaanku”
“hmmm entahlah. Ray tak
mau bercerita, mengapa tak kau tanyakan saja pada Ray?”
“sudahlah, sudah larut aku ingin terpejam”
“aku tak mengerti kau yang sekarang” dia mendesah kesal.
Telponpun berakhir
Setelah menelponku sepertinya Tata akan menelpon Ray, hei
aku merindu suara itu :’(
-----
“iya Taa?”
“ku tunggu besok dirumah, ok?”
“ok baiklah” jawab Ray lemas dari seberang telpon Tata
“kau sudah terpejam?”
“hampir saja”
“ah kau ini sama saja seperti Veve. Eh Ray kurasa rencana
kita berhasil. Tega sekali kau padanya”
“heh? Sungguhkah?” suara Ray terdengar sumbringah
“kau tak merasakannya? Ah payah sekali kau ini”
“hahahaa, baguslah! Aku suka itu”
“sampai kapan? Jangan sampai kau buat dia gantung diri. Kau
telah buat aku membohonginya”
“secepatnya, hahaa maafkan aku” Ray terdengar senang
“dasar kau ini, sudah! Kembalilah terpejam”
-----
Aku sudah sampai didepan rumah Tata. Enggan sekali rasanya
aku masuk, akhirnya kuputuskan untuk memencet bell rumah itu
“iya sebentar” Tata membuka pintu dan menyuruhku masuk
Dan kau tahu? Dugaanku tak salah lagi
“kurasa kau selalu ada?” tanyaku sinis pada Rio yang sedari
tadi sudah berada dirumah Tata
“hei tak bolehkah?” dia berbalik bertanya tanpa beban
“oh, lupakan”
“mana Ray?” kali ini aku bertanya pada Tata
“bersabarlah, kau seperti tak tahu dia saja”
Aku duduk disofa rumah itu lalu mengeluarkan bermacam
pensil, alat gambar dan setumpuk kertas gambar dari ranselku, beberapa
diantaranya sudah penuh dengan ukiran garis dari pensilku
“kenapa dia?” Rio berbisik pada Tata
“entahlah. kurasa dia stress” Tata menjawab
“bicara apa kalian?” aku berucap sembari mulai menuangkan
inspirasiku
“tidak”
Selang beberapa menit kemudian Ray datang bersama perempuan
itu -,-
“kau mengajaknya?” tanyaku tanpa berpaling kea rah Ray dan
perempuan itu, siapa namanya? Acha. Ya Acha, aku ingat
“lantas?” Ray balik bertanya dengan nada yang tak enak ku
dengar. Dia sepertinya tak menginginkan aku berkata seperti itu. Ah, dia tak
pernah seperti ini sebelumnya
“lupakanlah, aku hanya bertanya”
“sepertinya dia benarbenar stress” Rio kembali berbisik pada
Tata
“kurasa ada yang tidak senang, sebaiknya aku pulang saja”
Acha berucap dengan intonasi yang dalam
“sudahlah, kau disini saja” Ray mencegahnya, sepertinya Ray
perhatian sekali pada Acha
“tidak Ray, untuk apa aku disini jika ada yang risih dengan
keberadaanku” sepertinya Acha melirikku
“maafkan jika perkataanku menyinggungmu. Aku hanya bertanya,
tak lebih” tambahku seraya masih asik berkutat dengan pensil dan kertas
gambarku
“ah sudahlah, aku akan beranjak” Acha berlalu
“tunggu, biar ku antar” Ray pun berlalu mengikutinya
“kenapa kau ini?” Tata bertanya padaku
“entahlah” jawabku lirih
“sukses, tega sekali kau Ray, hahhaa” gumamnya berbisik
Tata dan Rio asik menceritakan jalinan kisah asmara *ngekk
mereka
Aku pun hampir menyelesaikan gambar sketh pensilku
Tak lama darinya Ray kembali. Wajahnya sangat suntuk
melihatku, aku merasakannya tanpa harus berpaling
“apa apaan kau ini?” Ray bertutur dengan intonasi tinggi di sela nafasnya yang pendek-pendek
Aku hanya mengangkat bahu tanpa berpaling menatapnya
dia menghela nafas, mungkin dia malas melihat tingkahku yang entah aku sendiri tak mengerti
kenapa dengan diriku “kau menggambar apa?”
Aku berpaling menatapnya, terlihat jelas sekali dari pemancar itu kalau dia masih
kesal dengan tingkahku tadi
“ini… kurasa..
aku merindukannya” aku memperlihatkan gambar skethku padanya
“siapa ini?” dia mengambil gambarku
“hahahaa itu tambatan hatinya Ray” Tata bertutur seraya
menahan tawa, sungguh dia kenapa? aku
tak suka itu
“bicara apa kau? Dia sahabat kecilku, sebaiknya kau jaga
mulutmu itu” ucapku geram
“siapa namanya?” tanya Ray lagi
“Deva” tambah Tata singkat
“bisa kau kembalikan? aku akan menyelesaikannya” pintaku
“tidak” Ray berkata geram
Dan kau tahu? Dia merobek gambarku
“mee..mengapa kau merobeknya?” tanyaku lirih
“aku tak suka” dia menatapku tajam
“kau kenapa? Tak pernah kudapati kau seperti ini. Kenapa tak
sekalian saja kau bakar semua gambarku itu” aku menunjuk setumpuk kertas gambar
yang kuletakkan diatas meja tadi
Ray hanya terdiam, tapi matanya masih menunjukkan amarah. Sebenarnya dia kenapa? Aku tak paham
dengan situasi ini
“maafkan atas tingkah dan perkataanku tadi, aku tahu kau
kesal. Tapi kurasa kau tak perlu merobek itu, aku menggambar tanpa melihat
objek, itu bukan hal yang
mudah Ray”
Ray masih diam, lama kami dalam keheningan. Hingga akhirnya
kutemui ponselku berbunyi pertanda panggilan masuk, kulihat nomor tak dikenal.
Siapa ini? Mengganggu saja
“iya hallo” sapaku
“hei Vee, bagaimana keadaanmu?” terdengar suara laki-laki sebayaku diujung telpon, bahkan penelpon itu tak menjawab
sapaanku tadi
“entahlah, kurasa sedetik tadi baik-baik saja sebelum…lupakan, siapa kau?”
jelas dan tanyaku
“kau tak ingat aku?” dia berbalik bertanya
“kurasa” jawabku sinis
“kau benarbenar tak ingat padaku?” suaranya terdengar lirih
“kurasa aku melupakanmu” jelasku dingin
“oh, lupakan. Dimana Veve kecilku yang.. dulu hfftt” dia bertutur lirih jelas sekali terdengar
“tunggu, sepertinya aku tahu kau siapa… Deva kau kah ini?
Hei, aku merindukanmu” suaraku mulai terdengar sumbringah
“kau mengingatku? Syukurlah! Ku kira kau benar lupa padaku”
“kau kemana
saja? Lama sekali kau menghilang. Tak merindukah kau padaku? kurasa kaulah yang melupakanku. Tega
sekali kau ini” suaraku ku
buat terdengar kecewa
“aku merindukanmu, hahahaa itu sudah pasti”
“hei kau tahu? Tadi aku menggambar sketh dirimu
Dev, tapi tak sempat ku selesaikan sudah ada yang merobeknya” aku menatap
dingin kearah Ray, yang dibalas tatapan tajam dari matanya
“hei kau masih saja menggeluti dunia seni itu?”
“tentu saja, kau lupa? Itu duniaku” aku mulai kembali fokus
ketelpon, tapi apa yang terjadi?
“berikan padaku!”
Ray merebut paksa ponsel yang ku genggam itu dan mematikan telponnya
“apa maumu Ray? Apa kau sudah gila? Kau terlihat seperti
monster hari ini” aku berucap kasar dengan amarah yang membucah
Ray kembali terdiam, apa maksudnya ini?
“sudahlah, aku akan beranjak” suaraku melemah, ku putuskan
untuk berlalu
“Ray kejar dia” perintah Tata
Aku sudah sampai dimuka pintu, belum sempat aku melangkah
keluar, Ray mencegatku
“kau mau kemana?”
“kau tak lihat? Aku akan pulang” aku tak berpaling dan akan
kembali melangkah. Tapi dia mencengkram pergelangan tanganku
“tidak, kembalilah”
“untuk apa? Lepaskanlah” pintaku
“tak akan”
ucapnya mantap
“apa maumu Ray?”
aku menghela nafas “Kenapa kau ini? Kau tak pernah
seperti ini sebelumnya”aku masih tetap tak memutuskan untuk berpaling
“berpalinglah” pintanya
“tidak, lepaskan. Aku ingin pulang”
“kumohon”
“untuk apa? Aku tak mengerti apa maumu” aku masih tetap pada
posisiku
“ayolah Vee”
“katakan apa maumu? Tak cukup puaskah kau membentakku tadi?
Tak cukup puaskah kau marah padaku hari ini? Apa lagi maumu? Gambarku telah kau
robek, telpon itu pun telah kau tutup. Katakan padaku, kau mau apa lagi? Tak cukup puaskah kau... menyakitiku Ray?” suaraku sudah serak,
bulir manik bening dari kedua bola mataku pun mulai berjatuhan
“jangan menangis” ucapnya lembut
“aku tak bisa, apa yang membuatmu berubah?” suaraku bergetar
Dia bungkam,
semenit kemudian aku putuskan untuk kembali membuka suara
“lepaskanlah, aku ingin beranjak dari tempat ini” pintaku
sekali lagi
“Vee” panggilnya
“mau apa lagi kau?” pita suaraku meninggi
“aku mencintaimu” terdengar dia bertutur tulus, tapi ini tak
mungkin
“sudahlah, aku tak ingin bercanda. Lepaskan” sudah berapa
kali aku memintanya melepaskan genggamannya, tapi dia bersikeras menahanku
“sungguh, aku serius. Aku mencintaimu”
“untuk apa kau katakana itu? Cukup aku saja yang terluka.
Jangan kau buat perempuan itu merasakannya juga” sakit aku mengatakan itu,
seraya bulirbulir hangat itu senantiasa mengalir
“siapa yang kau maksud? Acha? Vee, dia hanya sepupu ku”
Sungguh kah? Apa
maksudnya ini semua? Kenapa Tata tak berkata padaku kalau Acha hanya sepupu
Ray, aku rasa dia mengetahui hal
itu. Apa dia membohongiku? Kurasa selama ini sedikit kecilnya dia tahu
perasaanku. Ya Tuhan aku tak tahu harus berkata apa lagi
“lepaskan. Aku ingin beranjak”
“berpalinglah Vee, kumohon” suaranya melemah, aku tak kuasa
mendengarnya
“lepaskan. Berapa kali harus kata itu terucap?”
“tak akan,
ayolah jangan seperti ini”
“cepatlah, apa maumu? Aku ingin pulang”
“katakan. katakan kalau kau juga mencintaiku”
Ah? Kata
itu? Tidak, aku tidak mengerti akan
hal ini, tak mungkin sanggup aku mengatakannya. Terlalu sakit kau tahu?
“lepaskan. Harus berapa kali kukatakan itu padamu” bentakku
“tak akan!
Sebelum kau katakan kalau kau juga mencintaiku!” ucapnya dengan suara lantang. Aku bergidik itu terdengar seperti bentakan
“baiklah” aku berpaling dan menatapnya tajam
“aku mencintaimu” tuturnya lembut. Aku menyesap nafas panjang sembari mengumpulkan
keberanian untuk berucap lagi
“aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu... Sedari dulu Ray, tanpa harus kau sadari
itu” sedetik itu juga aku langsung tertunduk, tak sanggup lagi menatap pemancar dari maniknya
Aku tidak lihat,
mungkin dia tersenyum. Kurasa? Entahlah.. Dia mendekapku, kurasakan benar ketulusan “maafkan aku”
bisiknya
-----
Bandar Lampung,
September, 2010
Langganan:
Postingan
(
Atom
)