Rabu, 21 November 2012

Hari Setelah Ini


Hari ini, hari-hari lalu. Terlewati, dengan jejak-jejak kecil di dalamnya. Hujan kerap kali menyapa, angin dinginnya pun berlomba menyeruak. Kadang, tak sempat aku menghindar. Kadang, mataku harus melalapnya mentah-mentah. Seperti saat aku menulis guratan-guratan ini, gemerciknya tak urung reda semenjak senja. Memaksaku mengingat seluit beberapa bulan lalu. Indah memang, menyesap wangi hujan kala itu. Kian sakit kini yang tersisa, entah rasanya perih saja.

Bahkan telah meninggalkan tanah itu pun, tetap saja dia tak beranjak dari ingatan. Padahal parasnya tersisa samar-samar. Tak khayal kadang aku lupa seberapa tampan dia. Bagaimana merusak patrian namanya ini ya Tuhan? Nama yang sederhana, dan dengan sederhana pula dia menyelinap masuk hingga terpahat.

Sebelum dia, sekeji apa aku menyakiti hati yang tak pernah ku pinta? Untuk membuat seulas senyum saja sekarang begitu sulit. Padahal dulu tak terhitung perharinya. Dia membukakan mataku atau malah membutakan hatiku?

Mungkin karma dari yang sudah lewat. Saat aku menemukan satu, layakkah aku terpenjara? Berapa kali aku menegur hati untuk berhenti. Berhentilah, dia terlalu tinggi! dan harus berkeras hati seperti ini kah aku? Padahal semenjak awal sudah menyadari.

Coba waktu itu aku langsung beranjak, lepas sedetik saja. Tapi, aku tak menyesali apa pun, karena nya aku mempelajari banyak hal.

Namun hari ini, atau hari setelah ini. Sesungguhnya masikah rasaku tetap sama? Apa aku kuat bertahan dengan kebodohan ciptaanku sendiri? Semestinya, iya! Sebelum malam lalu ada sosok yang menyelinap ke mimpiku. Menjadi bunga tidur walau tak banyak, karena malamku begitu panjang. Yang benar saja, aku tahu tapi tak kenal. Apa karena kerap aku memandanginya? Ayolah, hanya beberapa kali. Kurasa bukan, dan harusnya bukan! Teranglah tercipta keanehan padaku sepanjang hari ini, semoga tak ada yang memperhatikan.

Aku masih mempertanyakan banyak hal, kali saja sang pemberi mimpi salah menempatkan. Bukankah begitu banyak bunga-bunga mimpi yang harus ia tebar disetiap malamnya? Mungkin ia salah, mungkin saja kan? Ah, semoga ini bukan pikiran konyol.

Sungguh, aku belum ingin terjatuh lagi. Bagaimana jika layaknya pada dia? Haruskah aku mengulangi kebodohan lagi? Terjatuh dan tanpa balasan itu menyiksa, lalu terbutakan. Berdiam hanya memandang. Mencari, tertawa, berlari sendiri. Sendu, pada akhirnya tersayat sendiri. Lebih ke menyayat diri malah, jujur saja. Dan sekali lagi, aku tidak kenal!

Ah, semoga aku salah.. Mana mungkin mimpi yang memberikan harapan? Lagi pula semenjak pergi, aku tak pernah mendapati jantungku bekerja diatas batas kewajaran seperti dulu. Terlalu dini, benar saja, bagaimana bisa aku jatuh disaat aku sudah terjatuh dari lama? Untuk bangkit dan melangkah lagi saja sulit.

Semoga bukan kamu ya yang menggati patrian namanya di hatiku. Hanya tak ingin hari-hari berikutnya aku malah tersesat di tempat lain