Selasa, 25 Juni 2013

Selamat Untukmu -Short Story-



Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku melihatmu ya? Ternyata tahun pun enggan bertahan, lewat melenggang menjalankan takdirnya. Entah saja aku berniat memutar ulang masa usang itu, masa yang sudah bisa dibilang lalu.
Aku tidak berberat hati saat beranjak menjauh, seingatku aku tidak membawanya, ia telah mati dan segenggam abunya kutanam di sana. Aku ingat suara derap itu, untuk beberapa saat kita berada di satu ruang yang sama. Hari terakhir dari hanya segelintir saja saat-saat mataku dapat menangkap sosokmu dari jarak yang tak amat jauh. Dengan tetes-tetes rasa yang masih tersisa aku memotret akhir dari rentet kenangan akanmu.
Aku tersenyum getir, lalu ingatan itu menarikku lebih dalam lagi, lebih lampau lagi. Terlihat waktu pertama aku menemukanmu di tengah hiruk piruk, wah, sepertinya aku sumbringah sekali ya. Aku mencicit kecil terkesima. Ingin rasanya meneriakkan namamu. Tetapi, aku lupa, aku tak tahu siapa engkau, masih dengan terkesimaan akanmu aku hanya bergumam kecil “Siapa gerangan namanya?”. Mau kah kau turun ke sana dan mengajakku berkenalan? Tidak, tidak, aku hanya bergurau. Tahukah, aku melukis senyum saat menulis bagian ini, dan akan terus mengulang senyum itu saat berulang-ulang membacanya.
Mungkin saat itu aku tidak paham, kalau setelahnya hariku tak akan sama lagi. Mungkin saat itu aku juga tak paham, kalau setelahnya aku akan mengenal apa itu mencintai, diam-diam.
Aku sedang menengadah menatap temanku, berbicara lewat pancaran mataku menujunya, langit. Sudah agak lama dari jam pulang sekolah. Aku menoleh pada dengkur suara kendaraan yang mendekat, terpaksa menghentikan kegiatanku. Aku menjelikan pandangan, ah, sepertinya benar, itu serupa orang yang saban hari aku pandangi di tengah kebisingan yang ditimbulkannya. Aku tak harus berdiam seperti itu saja. Ya, saat itu juga aku berlari terengah.. Hei, teman, jangan terlalu serius membaca, aku tak mungkin menghampirinya dan dengan laknat menampakkan diri. Aku berlari terengah pada setumpuk absensi siswa dan mencabikinya demi mendapatkan sederetan abjad tersulap nama. Dan di situ lah aku, dengan segenggam namamu, dengan ulasan senyum sebahagia mungkin. Dan di sini lah aku, mengingat sekeping kebodohanku untuk orang yang kemarin aku cintai.
Kau tak teranalogi layaknya bulan, yang terkadang redup sebelah, terkadang sengaja menyelimuti diri dengan segempul mega. Kau memiliki tempat dengan penerangan tersendiri di sebidang hatiku. Meluas, meluas, meluas hingga mejajah sepenuhnya. Saat perasaanku mengembang lalu tertumpah ruah, mengapa seperti engkau tahu ada selirik mata yang membuntuti kemana tapakanmu menjajak, iya kah? Sepertinya aku terlalu membesar hati, namun sekecil itu lah hatiku berani merasa. Jika kau risih, maaf.
Kau tinggi, menjulang tinggi. Menengadah menatapmu saja kepalaku tercekat. Tak apa, cekatan itu renggang saat ujung mataku masih dapat memandangmu. Kau adalah langit, langit ketika malam yang ditebari bintang-bintang. Banyak bintang itu adalah jumlah pemilik napas pendek-pendek ketika melihat rupa tampanmu. Kau, kuasa semesta.
Sedang aku, siapa lah aku. Hanya dengan setetes daya berani mengagumi, memupuk daya hingga menyukai. Lalu aku terperosok jatuh dalam kebisuan. Lama sampai aku lupa seberapa lama keterjatuhan itu menyeretku ke palung hati paling dasar. Memang, ulah selalu menciptakan akibat. Aku tanggung luka-luka yang kemungkinan berjajar di depan asal derap-derap langkahmu dari muka gerbang hingga berakhir di balik pintu kelas masih terpandang. Tenang, aku tak akan memiliki keberanian meski hanya sekedar asa untuk berlari mengguncang kokoh tubuhmu demi mengucap kata hei. Memang aku sudah memilih diam dan nampaknya tak ada pilihan lain. Terkadang hidup tak selalu tentang banyak pilihan, bukan begitu teman?. Dan kau, tetaplah untuk tidak tahu -dan semoga kau yang terlihat risih, hanya lah perkiraan belaka. Bukankah hidup juga tentang mengira-ngira?- atau aku yang sudah lancang jatuh ini akan berniat menjatuhkan diri ke lubang berbeda hingga pecah tanpa sisa.
Kembali ke kini. Aku sedang di sebuah kota, niat untuk memanjakan sejenak rasa rindu yang mengendap. Rindu pada kota ini? Lebih banyak padamu sih. Kota yang dingin, ya dingin sepertimu. Aku ingat ketika darahku tak ingin mengalir dan memilih membeku saat menangkap sosokmu yang menapak angkuh. “Kenapa bisa kau mencinta? Air muka yang tak pernah mejelmakan keramahan.” Biarkan saja temanku mengumpat. Atau mungkin pertanyaan itu lebih aku cerna seperti “Kenapa malah nyatanya memang hal itu yang membuat aku mencandu?” Entahlah.
Sudah setahun ini, terbang pergi memang keinginanku, keinginan tentang ketidak mau tahuanku lagi perihal yang berhubungan denganmu. Namun ketika hati menjerit-jeritkan rindu, aku tak dapat berbuat apa-apa. ketika rindu ini meraung-raung, aku juga tak dapat terus berpura-pura tuli. Bukankah berpura-pura membuta dan menuli itu mudah? Terkadang hidup juga tentang berkepura-puraan. Hanya saja rindu itu telaten menguliti sandiwaraku.
Kau yang kini, hanya terjelma kenangan. Lehai-helai kenangan -yang kutoreh sendiri dulu- akan kubacakan lagi laksana membacakan dongeng sebelum tidur pada rindu yang sering kali datang mengunjungi hati yang sudah rentah ini.
Lagi-lagi aku teringat dulu, sungguh ingatan yang payah, ingatan yang tak berkronologis. Pada bulan-bulan terakhir, -setahun sudah melintas- aku sudah benar-benar tak ingin memandangmu di lamunku lagi. Kau yan dulu, pernah sudah dimiliki, betapa semesta berpihak padanya ya.
Sakit, bisa aku bilang itu sakit? Perihal sakit yang tak bertumbal. Tak ada yang dapat aku salahkan selain diriku sendiri. Tak ada juga yang dapat aku sesalkan selain keputusanku sendiri. Tak ada aku yang dapat memandangimu berlama-lama lagi, tak ingin lagi aku menggerakkan kepala menuju arahmu. Tak ada lagi sautan riang dari pita suaraku ketika temanku berucap “hei, kau tak mau lihat di sana ada siapa?” Hanya senyuman getir yang kuukir, tentu tanpa harus bersusah-susah agak memutar otot leher menatap pesakitanku. Sudah tak pantas, bukankah begitu? Memang aku tak pernah nyata di duniamu, dan memang kau hanya nyata dalam diamku. Pinta terakhir yang kutitipkan pada yang maha, semoga engkau berbahagia.
Ya, aku merasakan sedikit bahagia saat kau terlihat bahagia, hah, pada dasarnya aku tak pernah benar-benar bisa menerka apa yang terlihat dan membuat diriku sendiri mencoba paham. Dan ya, aku merasakan sisi yang teramat tersayat saat aku menengoki hatiku yang layu ini mati, benar-benar mati. Sudah sepantasnya jasadnya dimakamkan. Yang aku sadari sekarang bukankah aku yang mencintaimu lebih dulu? Terlepas dari bagaimana kau dan dia telah menjadi kalian. Namun lagi-lagi yang aku sadari sekarang kau yang kini, hanya terjelma kenangan saja.
Saat kau sudah tak bersama-sama wanita itu pun, aku juga tak paham harus apa. Kau yang dengan atau tanpa wanita di sampingmu, tetap saja aku tak bisa apa-apa. Yang aku bisa hanya mentintakan tulisan tak layak edar ini. Sini biar kuberi tahu, saat ini, ya detik ini sampai tanda titik terakhir tulisan ini, aku sedang berperan sebagai perindu yang merindumu.
Maaf untuk masih saja merindukanmu. Perihal perasaan, walau sekarang ada yang sangat pintar menyelinap di sepotong tidurku. Tempatmu tidak tergantikan, bersusah payah pun aku mengusirmu paksa, tak kan bisa. Kau memang masih punya lahanmu tersendiri. Sejatinya, memang aku tak pernah berniat menggantikanmu. Namun, jika nanti -suatu saat nanti, mungkin- cerita tentangmu kuakhiri, tak apa ya? Mungkin aku akan berkeliling sebentar. Mungkin  aku juga akan menulis cerita tentangmu lagi ketika aku sudah menua. Entahlah.
Di penghujung ini ada rentetan kata terakhir yang ingin aku tintakan. Iya. Selamat untukmu, selamat ulang tahun. Semoga berbahagia hidupmu ya.


Salam dari yang kemarin mencintaimu.


Bandung,
25 Juni 2013

Kamis, 13 Juni 2013

Untuk kamu,

Andai kapan kamu tak temukan aku di sudut paling ujung sorot pandanganmu, sila tanya keberadaanku pada langit. Atau kamu dapat menghubungiku di halaman-halaman yang tertera di akhir suratku jika berkenan, tentu aku terkesan. Kita dapat berbincang ringan, bertukar tawa mungkin?

Dan kamu Tuan, sudah sempat bersinggah ke sini? Sudah sempatkan matamu bertualang sebentar melihat helai-helai kamu di jejak tinta lusuh ini? Mari beri tahu aku.

Twitter : https://twitter.com/lolisvera
Facebook : https://www.facebook.com/veelolis
Email : veralolis@yahoo.com / veelolis@gmail.com


Salam,

Lolisvera

Senin, 03 Juni 2013

Desau Rindu




Kau lempar-lempar aku digenggamanmu. Meski sakit hanya dari sebelah pihakku, tak apa, kau tambah saja deraan pesakitan ini, sayang. Aku belum lelah, kau pikir aku lemah? Perlu kau tahu, bertahan denganmu adalah yang menunjukan aku kuat.

Setelah pertemuan kita di desa itu, kau yang telah menjadi kenangan kini kembali ke kehidupan. Menawarkan aku cinta yang merekah, cinta yang dulu pernah kau beri lalu kau tawan lagi.

Ada sealiran selat memisahkan kita. Kau begitu jauh dari mataku. Jauh juga dari hatiku, ah, bukankah aku lupa hatiku sedang kau miliki? Terkadang, mendengar seretan suaramu yang mencekat saja, meski perlu halang rintang, sudah cukup memberi kesegaran bagi rindu kemarau ini.

Tak banyak darimu yang berubah. Tak banyak dari kita yang berubah. Kau masih menjadi pembuat luka, dan aku tetap sebagai penerima luka.  Masih dengan kekecewaanku, masih dengan ketidak acuhanmu. Masih tanpa hembusan perhatian yang hangat, masih saja aku mengharapkan. Berkali aku mengungkap, berkali kau mengiyakan. Berkali lagi aku mengungkap, berkali lagi kau mengiyakan. Iya. Begitu seterus-terusnya.

Harusnya, aku tahu kau pun rindu jua. Kalau tidak, untuk apa repot-repot kau tawarankan aku cinta lagi? Juga untuk apa aku bertahan lagi dan lagi? Hei, bukankah malam ini begitu terasa dingin? Bak sikapmu yang terbeku, kau sadar? Entah aku yang terlalu banyak meminta atau kau yang memang tak pernah bisa dipinta. Di sini sayang, di sini aku akan menunjukan kepadamu. Bahwasanya hanya aku lah yang mencintaimu dengan candu.

Sabar aku menanti, menanti kiranya kau bersikap manis. Bukan, menanti aku menumpukan kaki di tanah kau pijak kini. Menanti kau menyambutku dengan senyummu, mungkin? Nanti saat temu kita, maka akan jelas sudah. Kau robohkan saja pertahananku, asal kau rengkuh aku setelahnya.


Jika datang setahun, lalu setahun lagi. Sewindu sudah teramat lama membulatkanmu menjadi sebongkah kenangan. Aku telah simpan kemarin, aku tak risaukan esok hari. Hanya malam ini kukirim dekap rindu lewat desau angin kepadamu, sayang.