Minggu, 06 April 2014

Dear, Mama

Aku kuat, ma. Aku tak takut meski pelipisku dihadang bedil. Aku tak akan menangis meski terposisi di bagian tergelap semesta sekalipun. Tapi tidak dengan gertakan darimu, ma. Aku tak perlu penjelasan, kata tidak darimu saja cukup, maka aku akan bungkam. Tak perlu kamu gelar kata yang menyayat yang sudah pasti akan menandaskan kestabilan mental. Aku bukan tidak mengerti, mungkin aku membuatnya menjadi; kamu melihat aku seperti tidak pernah mau mengerti. 

Aku mungkin membencimu, ma. Tetapi, tidak pernah ada benci yang lain yang binasa setelah satu titikan air mata.

Meski kutegaskan, aku lebih mencintai suamimu. Tapi sampai tempat ketiga pun, tetap akan menjadi mama, mama dan mama

Aku adalah rupa anak yang tak akan bertahan lebih dari triwulan berada di rumah. Tapi rumah tetaplah rumah, tempat di mana rindu bermuara. 

Bukankah tak pernah ada sakit yang aku beri tahu. Karena membuatmu khawatir adalah sakit di atas rasa sakit.

Seumur hidupku, mungkin lebih banyak waktu yang kuhabiskan untuk terlelap ketimbang bertemu denganmu. Mungkin lebih banyak hal-hal yang aku pelajari dari pengamatan di luar dibanding saat-saat kita duduk dan makan di meja makan yang sama. Mungkin lebih banyak perasaan yang aku angkat dalam liris dari pada yang aku ceritakan padamu. Tanpa mengurangi rasa hormat, rindu siapa yang maha besar, ma

Ma, tidak akan ada yang bisa menggantikan surga dari telapakmu. Di sini biar aku tuliskan kata yang tidak pernah terucap; aku mencintaimu, ma.

Salam,
putri sulungmu.


Tangerang,
6 April 2014. 23 : 20

Tidak ada komentar :

Posting Komentar